Di suatu masa ketika Eropa sedang sibuk bersaing menjelajahi samudra dan menyusun peta dunia, di sebuah kerajaan maritim di timur Nusantara, seorang lelaki duduk dalam kesunyian perpustakaan pribadinya.
Di hadapannya, bukan kitab-kitab ajaran mistik atau hikayat peperangan, melainkan teks matematika Latin, buku astronomi dari Spanyol, dan salinan atlas dunia. Nama lelaki itu adalah Karaeng Pattingalloang, dan ia adalah satu dari sedikit tokoh Nusantara yang diakui oleh para pemikir dan penjelajah Eropa sebagai “setara” dalam keilmuan.
Pelita Pengetahuan di Istana
Lahir sekitar awal abad ke-17, Karaeng Pattingalloang besar di lingkungan bangsawan Tallo. Namun minatnya bukan hanya pada kekuasaan, melainkan pada ilmu pengetahuan lintas budaya. Ia fasih dalam berbagai bahasa—Makassar, Bugis, Portugis, Latin, Spanyol, dan sedikit Belanda. Ia dikenal sebagai pembaca rakus dan penulis bijak, yang tidak hanya mengumpulkan naskah-naskah penting dari luar negeri, tetapi juga menggunakannya untuk membangun kebijakan lokal yang kuat dan berdaulat.
Ia menjadi Tumailalang Tallo, semacam perdana menteri, dan penasihat utama bagi raja Gowa dan kemudian Sultan Hasanuddin. Namun, perannya jauh lebih dari sekadar birokrat: ia adalah jembatan antara dunia Makassar dan dunia global, antara tradisi lokal dan ilmu pengetahuan modern.
Antara Sains dan Iman
Yang membuat Karaeng Pattingalloang menonjol bukan hanya kecakapannya dalam membaca teks, tetapi juga cara berpikirnya. Ia adalah contoh langka dari pemikir Muslim Nusantara yang mampu menjembatani iman dan rasio.
Meskipun dikenal taat beragama, ia tidak menolak pendekatan sains yang datang dari Eropa. Ia justru menyambutnya sebagai bagian dari pemahaman terhadap ciptaan Tuhan.
Ia mempelajari pergerakan bintang, gravitasi, dan arah angin bukan untuk menyaingi agama, tetapi untuk memperkuat pemahaman tentang dunia yang diciptakan oleh Tuhan. Ini membuatnya sangat dihormati oleh banyak ulama setempat, sekaligus dikagumi oleh ilmuwan dan misionaris Eropa yang tak menyangka menemukan seorang polymath di ujung timur Nusantara.
Pemikiran Politik dan Hubungan dengan Hasanuddin
Salah satu aspek penting dalam warisan Pattingalloang adalah pengaruhnya terhadap Sultan Hasanuddin, yang kelak dikenal sebagai “Ayam Jantan dari Timur.” Pattingalloang diyakini sebagai salah satu mentor intelektual bagi Hasanuddin muda.
Di bawah bimbingannya, sang sultan tumbuh tidak hanya sebagai prajurit tangguh, tapi juga sebagai pemimpin yang berpikir strategis, menghargai ilmu, dan paham geopolitik.
Pattingalloang banyak menyusun strategi diplomasi yang menempatkan Makassar dalam posisi kuat di mata bangsa-bangsa Eropa. Ia menolak keras monopoli dagang VOC, dan justru mendorong pelabuhan Makassar terbuka untuk semua bangsa—Portugis, Inggris, Arab, Melayu, hingga Tionghoa. Gagasan ini melahirkan semacam “kosmopolitanisme Makassar,” di mana toleransi dan keberagaman menjadi kebijakan negara.
Warisan dalam Senyap
Karaeng Pattingalloang wafat pada tahun 1654. Kepergiannya menjadi pukulan telak bagi Kesultanan Makassar, terutama ketika ancaman Belanda kian nyata. Tiga belas tahun kemudian, Perjanjian Bungaya ditandatangani. Sultan Hasanuddin, meskipun terkenal gigih, tidak lagi memiliki sosok intelektual tangguh seperti Pattingalloang di sisinya.
Namun, jejak pemikirannya tidak lenyap. Dalam catatan Eropa, Pattingalloang disebut sebagai “philosopher-king behind the throne”. Salah satu catatan dari utusan Portugis bahkan menyebutnya sebagai “lebih tahu tentang Eropa dibanding kebanyakan orang Eropa itu sendiri.”
Hari ini, peninggalannya bisa ditelusuri dalam bentuk artefak di Museum Karaeng Pattingalloang di kawasan Somba Opu. Namun lebih dari sekadar benda, warisan terbesar Karaeng Pattingalloang adalah semangatnya: bahwa ilmu pengetahuan bisa tumbuh di mana saja, bahkan dari tanah Makassar yang jauh dari pusat-pusat renaisans Eropa.