Berkunjung ke Pulau Camba-cambang, aku menyewa perahu rakyat atau dikenal dengan sebutan jolloro’ dengan tarif Rp150 ribu untuk pulang pergi ke pulau. Saat mesin perahu berderu, aku mengambil posisi ternyaman di perahu yang ukurannya cukup menampung sekitar 17 orang.
Tidak cukup lama aku berada di lautan, sekitar 15 menit, perahu yang aku tumpangi sudah tiba di lokasi tujuan. Ramai. Begitulah suasana Pulau Camba-cambang hari itu. Di dermaga sudah banyak wisatawan lain yang tengah sibuk lalu-lalang untuk mengangkut dan mempersiapkan barangnya untuk segera menikmati suasana pulau.
Hal yang pertama aku lakukan usai tiba di dermaga adalah segera mencari tempat yang nyaman di pulau itu. Di sana memang sudah banyak tersedia gazebo yang secara khusus disediakan bagi wisatawan.
Siapa cepat, dia yang dapat. Sepertinya, begitulah “hukum” yang berlaku di sana jika ingin menempati salah satu gazebo di sana. Maklum, belum ada peraturan khusus bagi wisatawan untuk menggunakan fasilitas tersebut, dengan menyewa, misalnya. Aku sendiri memilih salah satu gazebo yang berada di tepi pulau.
Nama Camba-cambang sendiri berasal dari bahasa Makassar yang berarti pohon asam kembar (camba-cambang) yang pernah tumbuh di sana. Konon, kata penduduk Pulau Saugi yang bertangga dengan pulau ini, dahulu kala Andi Mappe yang dicap sebagai penghianat dieksekusi disini dan kepalanya di tanam disana. Sebuah cerita yang membuat pulau ini jarang dikunjungi warga.
Ratusan tahun berlalu, kini pulau yang tak begitu luas itu selalu sesak wisatawan. Aku kagum dengan apa yang dilakukan pemerintah Pangkep. Pulau yang dulunya menyimpan mistis itu kini berubah jadi tempat wisata yang digadang-gadang bakal menjadi salah satu kawasan wisata terbesar di Pangkep, bahkan Sulawesi Selatan.
Master plan Pulau Camba-cambang yang sudah tersebar di internet pun menampilkan betapa megah dan banyaknya fasilitas menarik yang bakal disuguhkan di tempat ini nantinya. Aku kagum!
Di sini, setiap pengunjung punya caranya masing-masing menikmati Pulau Camba-cambang. Ada yang menggelar lomba karaoke kecil-kecilan bersama keluarganya, berenang, atau hanya sekadar duduk memanfaatkan nikmat dan anugerah Tuhan yang dititipkan di pulau itu. Namun, yang paling popular adalah menikmati ikan bakar ditepian pulau.
Semuanya terlihat gembira. Kesenanganpun tak sampai di situ, pulau ini juga menyediakan wahana waterboom yang perosotannya langsung ke laut.
Di dalam pulau juga terdapat gedung serba guna yang sering digunakan untuk rapat. Gedung tersebut mempunyai arsitektur unik, aku tak menemukan sisi depan dan belakangnya dari gedung itu, semuanya terlihat sama.
Lelah berkeliling, perut mulai memberikan reaksi, membawa aku kesebuah warung. Aku memesan mie rebus sebelum makan siang tiba. Para pedagang kebanyakan berasal dari Pulau Saugi yang lokasinya berdekat dengan pulau ini. Mereka menjajakan aneka makanan seperti kopi, ice dan ikan yang bisa dibakar pengujung di tepi pantai sambil menunggu sore.
Langit perlahan berubah oranye, mentari meminta pamit. Sore tiba! Aku teringat sebuah puisi yang menggambarkan betapa Indah-nya senja. “Senja selalu datang di pengujung hari membawa segenggam rindu”. Aku segera kembali ke vila untuk membersihkan diri dengan air tawar yang ku beli seharga Rp 5000 untuk 20 liter.
Malam yang biasanya berhias bintang tak nampak karena awan menyelimuti langit. Acara malam pun dibuka dengan membakar api unggun di tengah pulau. Suara musik dangdut membawa kaki aku ke sana, ternyata sudah banyak penonton yang telah ambil posisi.
Malam itu aku menikmati malam walaupun tanpa bintang. Disebuah pulau yang begitu eksotir, kutitipkan harapan. Tuhan bantu aku manjaganya.