Kami pun ditenggelamkan bahkan nyasar dibuat olehnya. Kami harus memutar ke sisi kanan tepi jurang kali mati. Pastinya lebih jauh, membuang waktu dan menguras banyak tenaga.
Hujan kabut datang sebentar. Kami sudah ditepi jurang menuju dasar kali mati yang kering kerontang. Suhu lebih dingin. Batuan lepas berantakan. Akar besar keluar dari dalam tanah mirip anakonda hutan amazon.
Hutan macam apa ini? Hening dan mengerikan tapi tetap mempertahankan kecantikannya. Ini sudah jam 4 sore. Jalur yang dilalui memakan waktu lebih lama dari sebelumnya. Sekiranya alang-alang tak ada, pasti kita lebih cepat dari ini.
Tumbuhan itu perkara yang harus diselesaikan secepat mungkin. Warga kawah sudah bersedia membantu.” Keluh Amril dengan wajah pucat seperti mau mati.
Waktunya mendirikan tenda, memasak dan lain-lain. Firman dan Amril adalah lelaki. Memiliki bakat terpendam. Masakan mereka mampu mengalahkan chef terbaik Gordon Ramsay. Mereka berhak mendapatkan bintang Michelin dan masuk daftar chef dunia. Sementara aku dan Daeng Flo tetap monoton seperti cacing terkena garam.
Aku memakai jaket tebal, di dalamnya terdapat baju tebal dan di dalamnya baju lagi. Dingin menusuk. Kabut tebal menutup pandangan bahkan terangnya headlamp. Angin kencang dari arah utara memporak-porandakan keberanianku.
Badai menghantam tenda. Aku terus berdoa. Sementara firman, Amril dan Daeng Flo masih terus menikmati kopi, tertawa puas tanpa sedikit muncul rasa takut.
“Kau tahu apa yang dilakukan pohon saat ini?” Tanya Amril padaku.
“Mungkin sebentar lagi dua pohon besar itu akan tumbang ke arah kita,” jawabku khawatir.
“Kau salah besar! Pohon itu sedang berzikir pada Tuhan,” ucap Amril menenangkanku sekaligus meyakinkanku tentang kebesaran Tuhan.
Aku belum mati rupanya. Doa semalam yang kupanjatkan dikabul Tuhan. Hari baru mulai. Aku bangun lebih awal. Memotret beberapa satwa yang datang bernyanyi ria di sekeliling tenda.
Bekerja Keras
Aku, Firman dan Amril adalah tiga serangkai. Seperti histori Bumblebee yang loyal terhadap Autobots. Dari puncak ke Kawah, dari Kawah ke Jalan Poros, dari jalan poros ke kawah, dari kawah kembali ke puncak. Begitu seterusnya beberapa kali. Sepatuku sudah semakin parah. Robek semakin membesar. Depan belakang, kiri dan kanan. Celana juga tak mau kalah. Dia menginginkan pensiun bersamaan setelah misi ini selesai.
Mendekati dua minggu. Jalur gunung semakin jelas. Ribbon sudah di pasang sepanjang jalan. Mata air sudah ditemukan. Tak ada lagi tersesat apalagi dehidrasi. Namun pisauku yang hilang sejak tanggal 30 Desember belum juga ditemukan.
Ini ulah Nitu: Arwah, Amegelu. Dia mengelabui mata kami sungguh cerdik. Tak satupun dari kami menemukan itu. Apa yang harus dilakukan? Kami harus temui ketua suku juga ketua adat Kawah. Menceritakan seluruh kejadian lebih detail.
Mereka juga harus ikut ke puncak. Foto bersama di puncak sebagai bukti bahwa aktivitas kita didukung oleh mereka. Namun, selepas tranggulasi berdiri kokoh. Tanggal 11 Januari 2020. Segala jerih payah terbayarkan.
Tranggulasi sudah berdiri kokoh berdampingan dengan tanda salib yang dibangun oleh Pater Jhoseph berkebangsaan Jerman di tahun 1990. Nama kami berlima sudah di puncak Amegelu dengan ketinggian gunung 1.373 meter dari permukaan laut.
***
Kring…kring… Kring… Mungkin seperti itu dering handphone milik Daeng Flo. Bapak Don menelpon pagi sekali. Menanyakan kabar kami di gunung. Juga menceritakan badai kemarin yang menumbangkan pohon kemiri di kebun milik warga. Kemarin badai kencang. Banyak pepohonan tumbang. Beberapa atap rumah rusak.
“Bagaimana keadaan kalian diatas?” Tanya beliau dengan penuh kekhawatiran.
Belum semua warga kawah sampai ke puncak Amegelu. Mereka mendambakan itu. Setidaknya mereka juga dapat menikmati hadiah dari Tuhan yang agung. Aku dan Amril bersedia menjemput mereka esok pagi.
Tanggal 13 Januari adalah hari kebahagiaan mereka. Seluruh aktivitas berat dihentikan, hanya berdoa kepada Tuhan dan para leluhur. Permohonan pertama mereka tidak lain adalah air yang disembunyikan Nitu, dikembalikan.
Permohonan kedua pisauku juga harus dikembalikan. Jika Nitu tak sampai mengindahkan permintaan itu, maka saya ikhlaskan. Mungkin dia menginginkannya.
Para orang tua sudah berkumpul di lapangan selepas doa. Dari 20, 40, 60 sampai 70 tahun. Semangat masih membara. Amegelu adalah hal kecil untuk ditaklukan oleh mereka. Anggapanku demikian.
Jalur panjang, mendaki lagi, mendatar lagi sampai mendaki terus menerus. Mereka masih tetap tertawa tiada henti. Jalur ini bagus, mudah dan nyaman. Baik untuk semua pendaki. Dan panjatlah mereka doa kepada Tuhan. Amegelu yang dianggap mengerikan, daya majik tinggi dengan keganasan, kini tak ada lagi.
Amegelu telah menyatu bak jiwa raga. Erat kaitannya antara kehidupan dan kematian. Bahagia dan penderitaan. Namun pancaran wajah mereka itu lebih berseri daripada segalanya. Dan mereka telah berada di puncak dengan berbahagia ria sebelum berakhir.
Hidup bagaikan melayarkan perahu di samudra luas. Kita boleh mengembangkan layar, boleh melempar jangkar, atau mendayung kuat-kuat. Semua itu hanya untuk bertahan, demi lintasi perjalanan.
Ada yang karam, ada yang babak belur, ada yang mencapai tepian. Kita rakyat kecil hanya mengubah diri kita, karena hanya itu yang kita mampu. Percaya saja pada Nahkoda. Begitu Pemimpin kita senantiasa mengucapkan berita yang ditulis wartawan di surat kabar.