Namanya mungkin terdengar unik dan bahkan agak asing bagi sebagian orang, terutama mereka yang belum pernah bersentuhan langsung dengan kuliner khas Betawi. Namun jika ditelaah lebih dalam, nama “gabus pucung” sesungguhnya sangat menggambarkan bahan utama dari masakan ini, yakni ikan gabus dan pucung, sebutan lokal untuk buah kluwak.
Dua bahan tersebut menjadi elemen penting yang menentukan cita rasa sekaligus identitas dari hidangan tradisional satu ini.
Gabus pucung merupakan salah satu sajian khas Betawi yang tampil seperti sup berkuah. Namun, jangan membayangkan kuah bening seperti sup ayam atau sop buntut. Kuah gabus pucung justru berwarna hitam pekat, mirip dengan rawon dari Jawa Timur, yang juga menggunakan buah kluwak sebagai pewarna dan pemberi rasa utama.
Warna gelap ini bukan sekadar soal estetika, melainkan menyimpan cita rasa yang khas—perpaduan antara gurih, sedikit pahit, dan aroma rempah yang tajam namun hangat.
Dalam penyajiannya, potongan ikan gabus yang telah digoreng terlebih dahulu akan dimasukkan ke dalam kuah kluwak yang kaya rempah. Selain ikan, sajian ini juga dilengkapi dengan berbagai sayuran seperti wortel, daun bawang, dan kembang kol. Kehadiran sayuran ini tidak hanya menambah tekstur dan gizi, tetapi juga memberi warna yang kontras dengan kuah hitamnya, menjadikan gabus pucung tampak lebih menggoda.
Lihat postingan ini di Instagram
Tak hanya soal rasa dan penampilan, gabus pucung juga memiliki nilai budaya yang mendalam. Hidangan ini bukan sekadar menu harian, melainkan juga sering disajikan dalam momen-momen khusus, seperti saat nyorog.
Nyorog adalah tradisi Betawi yang dilakukan menjelang bulan Ramadan atau Hari Raya Idul Fitri, di mana anak atau menantu membawa hantaran makanan kepada orang tua atau mertua sebagai bentuk penghormatan dan kasih sayang. Dalam tradisi tersebut, gabus pucung menjadi salah satu menu andalan, karena dianggap sebagai simbol penghargaan terhadap warisan leluhur.
Tak heran jika kemudian gabus pucung tercatat sebagai salah satu warisan budaya kuliner Indonesia. Bahkan, hidangan ini menjadi satu dari delapan kuliner warisan budaya tak benda yang berasal dari DKI Jakarta. Pengakuan ini menegaskan bahwa gabus pucung tidak hanya lezat dan menggugah selera, tetapi juga memiliki kedudukan penting dalam menjaga identitas dan kelestarian budaya Betawi.
Di tengah arus modernisasi dan perubahan selera masyarakat, keberadaan gabus pucung sebagai kuliner tradisional tetap dipertahankan oleh sebagian kalangan, baik di lingkungan rumah tangga Betawi maupun di berbagai rumah makan khas Jakarta.