Sandelwood. Di sabana luas Sumba Barat, ketika matahari baru saja condong ke barat dan angin membawa aroma tanah kering, seorang bocah bernama Aldi menuntun kudanya perlahan. Kuda itu berwarna cokelat tua, dengan surai yang mengilap diterpa cahaya sore. Namanya Lamba — warisan dari kakeknya yang dulu dikenal sebagai penunggang ulung di kampung mereka.
Sejak kecil, Aldi diajarkan satu hal sederhana: di Sumba, laki-laki tumbuh bersama kuda. Di setiap pacuan, di setiap upacara adat, kuda bukan sekadar hewan; ia adalah bagian dari harga diri, simbol kebanggaan, juga sahabat sejati.
“Kakek bilang, kuda itu setengah dari jiwa orang Sumba,” kata Aldi sambil mengelus lembut leher Lamba.
Kuda yang ditunggangi Aldi adalah kuda Sandelwood, jenis kuda poni asli Sumba yang melegenda. Tubuhnya kecil — tingginya tak lebih dari 140 sentimeter — tapi kuat, cepat, dan tahan banting. Sejak zaman kolonial, kuda ini sudah dikenal dunia, beriringan dengan kejayaan kayu cendana dari tanah yang sama. Nama Sandelwood horse diberikan oleh para pedagang Belanda, dan sejak itu kuda ini menjadi identitas abadi Sumba.
Di kampung tempat Aldi tinggal, pacuan kuda bukan sekadar olahraga; ia adalah festival kehidupan. Setiap tahun, para penunggang muda seperti Aldi berlatih keras untuk bisa berlaga di arena pacuan, yang kadang juga menjadi bagian dari festival besar seperti Parade 1001 Kuda Sandelwood.
Namun, bagi Aldi, menunggang kuda bukan hanya soal lomba. Ada mimpi yang lebih besar.
“Aku ingin jadi pelatih kuda,” ujarnya mantap. “Biar kuda-kuda kita tetap kuat, tetap jadi kebanggaan orang Sumba.”
Mimpi Aldi lahir dari kecintaannya terhadap kisah-kisah lama — tentang bagaimana kuda dulu menemani para leluhur dalam berburu, dalam perang, dalam perjalanan jauh menembus sabana yang tiada ujung. Ia juga tahu, dalam tradisi perkawinan Sumba, seekor kuda bisa menjadi bagian penting dari belis, mahar yang diberikan sebagai tanda penghormatan tertinggi.
“Kuda itu bagian dari hidup kami,” tambahnya. “Kalau kuda hilang, sebagian dari cerita kita juga akan hilang.”
Kini, setiap sore setelah sekolah, Aldi melatih Lamba berlari di sabana. Di sela-sela debu yang beterbangan dan angin yang berhembus kencang, suara derap kaki Lamba menjadi simfoni kecil yang mengisi sore Sumba.
Di atas punggung kudanya, Aldi belajar bukan hanya soal menyeimbangkan tubuh, tapi juga tentang menjaga warisan, tentang mencintai tanah airnya dengan cara yang sederhana namun bermakna.