Hal ini dapat terlihat dari bukti naskah otentik berupa surat menyurat antara raja Bima, Sultan Ismail dan raja Ende, Indra Dewa. Isi surat tersebut mengisyaratkan bahwa kedua kerajaan ini harus saling menopang antara satu dengan yang lain. Hubungan kedua kerajaan ini telah terbina sejak klaim hikayat kekuasaan Bima masa Tureli Nggampo, sang Makapiri Solo.
Dalam rangka menegakkan agama Islam di Ende, Inderadewa ini merevitalisasi dan membangun masjid yang lebih permanen yang diberi nama Masjid Ar-Rabithah di daratan Ende. Masjid ini berada di depan persis dari istana Kerajaan Ende. Masjid ini hingga saat ini berdiri megah, setelah mengalami beberapa renovasi, yang berada di Kampung Ambu Tonda, Kota Raja, Ende.
Apakah masjid Ar-Rabithah ini masjid yang pertama di Ende? Atau ada masjid lain yang lebih dahulu dibangun selain masjid Ar-Rabithah. Catatan lain menyebutkan bahwa pada tahun 1631 di Pulau Ende (bukan Ende daratan), tepatnya di desa Roru Rangga, telah berdiri masjid yang dibangun oleh Haji Zainudin. Masjid itu didirikan satu tahun setelah habisnya orang Portugis di Pulau Ende (1630) karena diserang oleh penduduk Ende daratan.
Pada masa Inderadewa ini diperkirakan selain membangun masjid, raja inderadewa mempunyai gagasan membangun juga istana kerajaan. Namun karena sejak diserahkannya klaim penguasaan Flores dari Portugis ke Belanda pada tahun 1850-an dan terjadi pembiaran oleh Belanda atas keamanan Ende maka mulailah muncul perselisihan antar suku di Ende.
Ada kemungkinan juga Belanda sengaja menerapkan politik devide et impera yang menyebabkan Ende menderita pertentangan antarsuku dan terjadi perang antarsuku. Peristiwa ini menyebabkan Kerajaan Ende tidak pernah sempat membangun istana kerajaan yang representatif sebagaimana kerajaan-kerajaan di Jawa.
( Raja Pua Noteh ) mendapatkan pengakuan sebagai raja Ende oleh Belanda pada tahun 1886. Pada masa ini sebagai lanjutan dari masa sebelumnya banyak pimpinan suku yang tidak menyutujui kerajaan tunduk pada Belanda, akibatnya terjadi banyak pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin lokal seperti Bharanuri (1887-1891), Mari Longa (1893-1907).
Dalam perlawanan rakyat ini, Belanda walaupun mengakui kekuasaan Pua Noteh, namun Belanda juga menuduh Pua Noteh sengaja membiarkan kekacauan ini terjadi. Menurut Belanda sebenarnya sangat mungkin untuk menangkap pemberontak Bharanuri, namun ternyata Raja Ende ini tidak melakukannya. Keadaan ini membuat Pua Noteh berada di persimpangan. Dari pihak Belanda, mereka menuduh bahwa Pua Noteh membiarkan perlawanan rakyat terhadap kepentingan Belanda.
Dari pihak rakyat, atau pemimpin lokal terjadi ketidak percayaan juga terhadap kepemimpinan Pua Noteh yang terkesan membela kepentingan Belanda. Akibatnya pada tahun 1909 Pua Noteh diturunkan dalam sidang pemimpin-pemimpin lokal, yang diamini oleh Belanda dan Pua Noteh dibuang ke Pulau Alor, kemudian berpindah ke Kupang sebagai tahanan politik. Selanjutnya sembilan tahun kemudian Pua Noteh meninggal pada tahun 1918 dalam pembuangan oleh Belanda dan dimakamkan di Batu Kadera Kupang.
Pua Noteh sebenarnya mempunyai 3 anak, yaitu Abu Bakar, Abdurahman dan Abdul Madjid. Namun ketika Pua Noteh diturunkan usia mereka masih kanak-kanak, maka yang diangkat adalah saudaranya yaitu Pua Menoh. Namun sebelum Pua Menoh diangkat, kendali kerajaan sempat dipegang Nou Tombu selama tiga bulan sebelum akhirnya diserahkan ke Pua Menoh. Pua Menoh
( Raja Pua Menoh ) diangkat oleh Belanda menjadi Raja Ende menggantikan Pua Noteh yang diturunkan pada sidang kepala suku dan dibuang ke Pulau Alor oleh Belanda. Pua Menoh ini pernah bersekolah di Kupang dan lulus dari sekolah Hindia Belanda (Gouvernements Inlandsche School). Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikannya selama beberapa tahun pada pendidikan Eropa di Batavia. Karenanya Raja Ende fasih berbahasa Belanda.
Karena kelancaran dalam berbahasa dan komunikasi di satu sisi, dan trauma pembuangan raja Ende sebelumnya, maka Pua Menoh tidak ada pilihan terpaksa banyak berkompromi dengan kepentingan Belanda. Pada tahun 1910 Belanda melakukan kerja rodi kepada penduduk Flores untuk membangun jalan yang menghubungkan Larantuka hingga Manggarai. Ratusan korban meninggal dalam kerja Rodi tersebut.
Pada zaman Pua Menoh usaha pengembangan misi Katolik di Ende oleh Belanda digalakkan. Belanda memberi kemudahan akses kepada SVD? untuk menggarap Pulau Flores. Pada tahun 1913, misi Katolik menempatkan pusat keuskupan untuk Nusa Tenggara Timur di Ende.