Tak jauh dari pusat Kota Waikabubak, tepatnya sekitar tiga kilometer, terdapat desa adat Prai Ijing yang terletak di atas bukit dan dikelilingi pepohonan rindang. Bentuk desanya memanjang dengan jajaran rumah adat yang berdiri di antara hijaunya perbukitan.
Masyarakat setempat dikenal sangat ramah menyambut wisatawan. Meski sempat dilanda kebakaran pada awal tahun 2000-an, rumah-rumah adat di desa ini kini telah kembali berdiri dan menghidupkan kembali denyut budaya masyarakatnya.
Lihat postingan ini di Instagram
Sementara itu, di Sumba bagian timur, terdapat Kampung Raja Prailiu yang berada di jantung Kota Waingapu. Dulunya kampung ini merupakan wilayah kekuasaan swapraja Lewa-Kambera yang diakui pada masa kolonial. Lokasinya yang sangat dekat dari pusat kota membuatnya menjadi desa adat yang paling mudah dijangkau dan banyak dikunjungi wisatawan.
Selain keindahan arsitekturnya, Prailiu dikenal sebagai pusat kerajinan kain tenun Sumba Timur. Warna-warni kain seperti hinggi dan lau terlihat menghiasi tali jemur di siang hari. Pengunjung dapat menyaksikan proses pembuatan tenun serta mempelajari makna di balik motif-motif tradisional langsung dari para mama, sebutan akrab untuk ibu-ibu penenun di daerah tersebut.
Masih di wilayah Sumba Timur, berdiri Kampung Raja Rindi atau Praiyawang, yang merupakan kampung raja tertua di kawasan tersebut. Desa ini berada di atas bukit datar dengan padang sabana yang luas di sekitarnya. Berasal dari kerajaan Rindi-Mangili, kampung ini memiliki delapan rumah induk yang melambangkan garis keturunan raja yang ada di desa tersebut.
Salah satu rumah yang paling menonjol adalah uma bokul atau haparuna, rumah terbesar yang digunakan untuk menyelenggarakan upacara adat besar. Berbagai benda pusaka yang berusia ratusan tahun masih digunakan dalam upacara hingga saat ini, menjadi bukti betapa kuatnya tradisi yang terus dijaga.
Lihat postingan ini di Instagram
Selain desa-desa tersebut, masih banyak desa adat lain yang menjadi pusat pelestarian budaya masyarakat Sumba. Kampung Tarung di Sumba Barat, misalnya, dikenal dengan festival adat Wulla Poddu. Ada pula Desa Adat Pasunga di Anakalang, Sumba Tengah, yang memamerkan kubur-kubur batu besar dan megah sebagai simbol status dan kekayaan masa lalu.
Desa adat di Sumba bukan sekadar situs sejarah, tetapi juga mencerminkan sistem kekerabatan yang erat dan semangat gotong royong dalam kehidupan sehari-hari. Pembangunan di desa-desa ini selalu melibatkan seluruh warga, menjadikan tiap proses sebagai bagian dari pelestarian budaya bersama.
Kini, pariwisata juga mengambil peran penting dalam menjaga eksistensi desa adat. Kehadiran wisatawan, donasi, serta pembelian cinderamata buatan warga memberikan kontribusi nyata terhadap perekonomian lokal sekaligus mendorong upaya pelestarian budaya.
Mengunjungi desa adat di Sumba bukan hanya tentang melihat keindahan bangunan tradisional atau memotret lanskap yang indah. Ini adalah tentang menyelami nilai kehidupan yang terus dijaga, mengenal lebih dekat falsafah yang diwariskan turun-temurun, dan merasakan hangatnya interaksi dengan masyarakat lokal.
Lihat postingan ini di Instagram
Duduk di teras rumah bersama warga, menyeruput kopi pahit sambil menikmati sirih pinang, bertukar cerita tentang sejarah, kepercayaan Marapu, dan kisah kepahlawanan Wono Kaka yang melawan penjajah, adalah pengalaman yang tak ternilai.
Di antara hembusan angin yang membawa aroma tanah dan ilalang, serta iringan tawa dan sapa tulus dari penduduk desa, Anda akan menyadari bahwa perjalanan ke Sumba adalah sebuah pelajaran tentang kesederhanaan, keteguhan, dan cinta terhadap akar budaya. Sebuah pengalaman yang jauh lebih dalam daripada sekadar liburan biasa—ia adalah perjalanan pulang menuju kearifan yang nyaris terlupakan.