Daging Sei. Ketika Anda mampir ke Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), tak lengkap rasanya kalau belum mencicipi kuliner se’i. Se’i artinya daging tipis yang diiris memanjang.
Kuliner khas Pulau Timor itu, di daerah asalnya banyak memakai daging babi. Ketika penganan ini mulai populer di daerah lain, maka penjual se’i menggantinya dengan daging sapi. Sepanjang masih menggunakan teknis memasak dan racikan yang sama untuk mempertahankan cita rasa autentiknya.
Syahdan, mengolah daging se’i berasal dari teknik memasak tradisional yang oleh Suku Molo, masyarakat Kepulauan Timor, khususnya wilayah Timor Barat dan Timor Tengah Selatan. Se’i menggunakan teknik mematangkan daging dengan menggunakan arang yang diletakkan jauh dari tempat pemanggangannya. Jarak antara tempat meletakkan daging dengan arang, bahkan bisa sampai dua meter. Resep agar asap tidak meresap ke daging dan memengaruhi rasa daging.
Suku Molo yang tinggal di Pegunungan Mutih, wilayah Timor Tengah Selatan, melakukan se’i dengan meletakkan daging di atas bara tanpa asap sama sekali. Tungku untuk menyalakan bara api terpisah dengan tempat mematangkan daging.
Bara api harus terus menyala tanpa dikipas agar tidak menghasilkan asap. Memasaknya bisa berjam-jam bahkan sampai berhari-hari.
Supaya bara pada arang awet, Suku Molo menggunakan kayu kosambi yang tebal dan besar. Mereka juga menggunakan daun kosambi sebagai penutup daging agar matang sempurna. Daun kosambi berfungsi sebagai penahan panas saat daging sedang disei sekaligus menjaga rasa dan warna asli daging agar tetap merah.
Se’i yang asli juga tidak menggunakan garam. Pasalnya, Suku Molo sebagai orang pegunungan tidak mengenal garam. Garam dibawa oleh orang pesisir. Oleh karena itu, di Molo, se’i dibuat tawar.
Daging sei ini dijadikan persembahan untuk para dewa bagi suku-suku di Timor. Cara memasak se’i tersebar akhirnya menyebar bukan hanya di Kepulauan Timor, melainkan juga ke Flores dan seluruh NTT.
Bagaimana cara mengolah se’i? Proses pengasapan diawali dengan mengiris daging memanjang dan melumurinya dengan garam. Kemudian digantung untuk mengeringkan kandungan air atau darah di dalam daging selama beberapa jam. Sementara itu, daun kosambi digunakan sebagai penyaring panas dan asap yang berlebihan. Inilah yang membuat aroma dan warna daging tetap terjaga.
Daging sei yang hanya dibumbui seadanya itu ternyata tetap terasa gurih. Apalagi jika disantap dengan sayur tumis bunga pepaya dan sambal lu’at–mirip sambal jeruk, tetapi ditambahkan kulit jeruk dengan bahan dasar cabai merah.
Disarankan sambal lu’at disimpan dua bulan sebelumnya di tabung bambu supaya rasa pedasnya makin paten. Namun, warga Kupang juga sering menyantap daging se’i bersama jagung bose, semacam bubur jagung yang dicampur dengan kacang merah.
Tapi Anda juga tidak perlu jauh-jauh ke Kupang untuk mencicipi kelezatan se’i. Sejumlah restoran maupun warung se’i sudah tersedia di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Tangerang, dan Yogyakarta. Menu se’i juga makin beragam dan variatif karena sudah ditambahkan keju mozarella dan bumbu lainnya seperti sambal matah. Warga Flobamora di luar NTT pun kerap menjadikan restoran dan warung se’i ini sebagai ajang silaturahim.