Di puncak bukit Tokesan Ulu, yang menjulang di utara kampung tua Tawalian, berdirilah sebuah bangunan yang memancarkan aura misteri dan sejarah: Banua Toban. Jaraknya hanya tiga kilometer dari kampung Tatale dan tujuh kilometer dari jantung kota Mamasa, tempat ini dapat dijangkau dengan kendaraan roda dua maupun roda empat.
Namun, perjalanan menuju bukit ini bukan sekadar perjalanan fisik—ia bagaikan melintasi dimensi waktu, menyingkap lembaran-lembaran sejarah yang tertanam dalam bebatuan dan pepohonan.
Tokesan Ulu, bukit tempat Banua Toban berdiri, menyimpan jejak masa lalu yang kelam sekaligus penuh makna. Namanya sendiri mengisyaratkan tradisi kuno: tempat menggantung kepala musuh yang dipenggal dalam peperangan, menjadi bukti kemenangan dan keberanian di medan laga.

Kini, dari puncaknya yang sunyi, hamparan lembah Mamasa terbentang luas, hijau dan tenteram di segala penjuru, seakan alam mencoba menenangkan jiwa-jiwa yang pernah bergolak di masa lampau.
Banua Toban merupakan bentuk keenam dari enam jenis rumah adat Mamasa yang dikenal sebagai banua longa. Keenamnya adalah Banua Layuk, Banua Sura’, Banua Bolong, Banua Rapa’, Banua Longkarrin, dan Banua Toban.

Berbeda dari yang lain, Banua Toban adalah yang paling sederhana. Bangunannya bertumpu pada kayu antero bulat yang disusun selang-seling dalam bentuk segi empat hingga menjulang tinggi—sebuah arsitektur unik yang membedakannya dari rumah adat lainnya.

Dahulu, rumah ini berdiri di luar kampung, menjadi tempat peristirahatan para gembala kerbau di malam hari. Namun Banua Toban yang ada di Tokesan Ulu saat ini bukanlah bangunan tua, melainkan rekonstruksi yang dibangun untuk mengenang kejayaan arsitektur Mamasa di masa silam.
Di dalamnya, tersimpan koleksi perkakas dapur kuno dan alat-alat tradisional lainnya, siap menyambut tamu yang ingin menelusuri jejak kehidupan nenek moyang.

Waktu terbaik untuk mengunjungi Banua Toban adalah sejak pagi hingga sore hari, saat sinar matahari menyorot lembah Mamasa yang hijau, menghadirkan panorama tanpa batas yang memanjakan mata. Di tempat ini, angin berembus pelan, membawa bisikan masa lalu yang tak lekang oleh waktu.
Sebuah perjalanan ke Banua bukan sekadar wisata, melainkan ziarah menuju akar budaya yang sarat makna, di mana sejarah dan alam bertaut dalam harmoni abadi.