Orang pertama yang mengenali nilai lembah ini adalah Nene’ Dettumanan, keturunan dari Nene’ Pongka Padang yang datang dari Tabulahan. Ia tidak datang untuk menetap, hanya untuk berburu. Tapi setiap kali datang, hasil buruan selalu melimpah: anoa, rusa, burung, tikus hutan, ikan, belut, udang, dan binatang lainnya seolah tersedia tanpa kesulitan. Karena itu, ia menamai tempat ini lembang Mamase—lembah yang memberi.
Namun, kehidupan lembah mulai berubah ketika datang sepasang suami istri, Gualipadang dan istrinya, dari Tabang. Mereka diam-diam tinggal di pinggir sungai, yang kelak dikenal sebagai Salu Kuse. Keberadaan mereka diketahui saat Dettumanan melihat kepulan asap dari atas Mambulilling.
Lihat postingan ini di Instagram
Bagi Dettumanan, lembah ini bukan sekadar tempat. Ia merasa memiliki keterikatan yang tak bisa dijelaskan. Maka ketika melihat ada yang tinggal tanpa izin, ia marah. Ia mengusir Gualipadang dan mengucapkan kutukan: bahwa tempat ini takkan memberi berkah bagi mereka yang tinggal tanpa izin. Bahkan anak mereka kelak akan menjadi mangsa binatang, dan hasil panen akan berubah menjadi benda tak berguna.
Kutukan itu segera menunjukkan wujudnya. Anak Gualipadang dimangsa kus-kus, dan sungai tempat itu diberi nama Salu Kuse. Takut akan kutukan selanjutnya, Gualipadang kembali ke kampung asalnya untuk mencari jalan damai. Ia diminta membawa hasil buruan kepada Dettumanan sebagai bentuk permohonan maaf. Ia pun pergi berburu, lalu mendatangi Dettumanan.
Ia tidak berbicara banyak. Ia hanya menunjukkan kesungguhan hati—menolak makan, menunjukkan penyesalan, dan menunggu belas kasih. Istri Dettumanan akhirnya tersentuh, dan meminta suaminya mempertimbangkan kembali.
Lihat postingan ini di Instagram
Setelah dialog dan perjanjian, Dettumanan memberikan izin tinggal kepada Gualipadang dan keturunannya, dengan lima syarat. Semuanya menunjukkan bahwa Gualipadang harus tunduk pada nilai, aturan, dan tradisi Tabulahan. Dengan diterimanya syarat itu, berakhirlah kutukan. Lembah kembali menjadi tempat yang memberi.
Untuk menghormati perjanjian itu, dibangunlah Loko—tempat penyimpanan hasil panen yang diberikan kepada Indona Litak dari Tabulahan. Dari nama lumbung itu, lahirlah nama kampung: Tondok Loko.
Tahun 1904, ketika orang Belanda datang dan bertanya nama tempat ini, mereka mendapat jawaban “Mamase”. Tapi dalam penulisan mereka, kata itu berubah menjadi Mamasa. Mungkin karena pengucapan, mungkin karena kesalahan dengar. Tapi sejak saat itu, nama Mamasa tertulis dalam dokumen resmi.
Namun, bagi mereka yang tahu cerita ini, lembah ini tetaplah Mamase—tempat di mana keberkahan tidak datang begitu saja, tapi lahir dari izin, perjanjian, dan kesungguhan hati.