Asal Usul Bubur Manado, Santapan Rakyat Jelata

Bubur Manado adalah makanan khas Manado. Bubur Manado merupakan salah satu kuliner yang paling terkenal di Sulawesi Utara.

Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

Asal Usul Bubur Manado, atau yang dikenal sebagai tinutuan, merupakan salah satu kuliner khas Nusantara yang kini dapat dinikmati di berbagai kota di Indonesia, tidak hanya di Sulawesi Utara. Hidangan ini biasa disajikan sebagai sarapan pagi atau camilan sore, dengan cita rasa khas yang kaya dan menenangkan. Namun, bubur Manado bukan sekadar makanan, melainkan juga simbol budaya dan sejarah yang mendalam.

Sebagai bagian dari wilayah Nusantara yang memiliki sejarah panjang penjajahan, masyarakat Indonesia dikenal dengan kreativitas kulinernya yang luar biasa. Dalam konteks ini, tinutuan muncul sebagai representasi semangat perjuangan dan kebersamaan. Hidangan sederhana ini dahulu menjadi wujud solidaritas, di mana masyarakat saling berbagi bahan makanan yang tersedia.

Kini, tinutuan tidak hanya menjadi makanan khas Manado, tetapi juga simbol warisan budaya Sulawesi Utara. Selain menawarkan cita rasa yang unik, bubur ini menggambarkan nilai-nilai kebersamaan yang terus dijaga oleh masyarakatnya, menjadikannya lebih dari sekadar kuliner, melainkan identitas budaya yang patut dibanggakan.

- Advertisement -

Asal Usul Bubur Manado

Asal Usul Bubur Manado, yang juga dikenal dengan nama tinutuan, memiliki sejarah panjang yang bermula sejak masa penjajahan Belanda. Pada era tersebut, kebijakan monopoli dan tanam paksa membuat perekonomian masyarakat terpuruk, kecuali bagi mereka yang bekerja sama dengan penjajah. Dalam situasi sulit itu, lahirlah bubur tinutuan, yang menjadi simbol kreativitas dan daya juang masyarakat untuk bertahan hidup.

Secara umum, bubur adalah makanan yang terbuat dari campuran bahan padat dan cair, di mana proporsi cairannya lebih banyak. Dalam dunia kuliner, bubur dimasak dengan cara merebus bahan hingga teksturnya lunak dan menyerupai cairan kental. Menariknya, jejak sejarah bubur ternyata telah ada sejak zaman Kaisar Xuanyuan Huangdi di Tiongkok pada 238 SM.

Baca Juga :  Sejarah Gunung Tambora, Letusan Dahsyat Dua Abad Silam

Saat itu, musim kemarau panjang menyebabkan kelangkaan bahan makanan, sehingga kaisar berinovasi dengan menuangkan sup panas ke atas nasi hingga mengembang seperti bubur. Metode ini kemudian disempurnakan dengan merebus beras menjadi bubur, memungkinkan banyak orang mendapatkan makanan yang cukup untuk bertahan hidup.

- Advertisement -

Tradisi memasak bubur yang berasal dari Tiongkok ini kemudian dibawa oleh para perantau ke berbagai daerah, termasuk Nusantara. Seiring waktu, masyarakat lokal mengadaptasi bubur sesuai dengan kondisi alam, tradisi, dan kepercayaan masing-masing daerah. Karena itu, hampir setiap wilayah di Nusantara memiliki varian bubur khasnya sendiri yang unik dan menggambarkan kekayaan budaya setempat.

Makanan Rakyat Jelata

Seperti halnya banyak kuliner Nusantara yang lahir dari kreativitas masyarakat ekonomi bawah, tinutuan atau bubur Manado memiliki sejarah yang serupa. Hidangan khas ini lahir dari inovasi masyarakat Minahasa yang hidup selaras dengan alam sekitarnya.

Pada masa itu, beras dianggap sebagai bahan makanan mewah karena hanya dapat diperoleh dengan membeli. Untuk menyiasatinya, masyarakat mencampur beras dengan bahan-bahan lain seperti ubi, jagung, dan sayur-sayuran yang tersedia di pekarangan rumah, menghasilkan bubur yang kaya gizi dan rasa.

- Advertisement -

Menurut Gabriele Weichart, seorang antropolog asal Jerman, pemilihan sayuran sebagai pendamping bubur di wilayah Minahasa tidak terlepas dari cara pandang masyarakat terhadap diri mereka sendiri dan alam sekitarnya. Orang Minahasa melihat diri mereka sebagai bagian yang erat dengan alam, sebagaimana nenek moyang mereka yang hidup sebagai pemburu, pengumpul, dan petani.

Tradisi kuliner ini terus dilestarikan sebagai bentuk hubungan harmonis antara manusia dan alam. Penduduk Minahasa secara turun-temurun memanfaatkan bahan makanan yang mudah didapat dari lingkungan, seperti jagung, beras, umbi-umbian, dan berbagai jenis sayuran.

Baca Juga :  Tradisi Haroa Masyarakat Islam Buton

Dalam jurnal Antropologi Indonesia No. 74 tahun 2004, yang berjudul Identitas Minahasa: Sebuah Praktik Kuliner, Weichart mencatat bahwa tradisi memasak ini mencerminkan identitas budaya Minahasa.

Hidangan tinutuan tidak hanya menjadi makanan sehari-hari tetapi juga simbol hubungan yang mendalam antara masyarakat Minahasa, nenek moyang mereka, dan alam yang mereka huni, terutama di kawasan pegunungan yang menjadi tempat tinggal mereka secara turun-temurun.

- Advertisement -