Asal Mula Kain Adat Sawu, Muji Babr dan Lou Babo

Muji Babr (kakak) dan Lou Babo (adik). Waktunya tak pasti. Sekira 40 generasi lampau. Yang jelas, lomba itu berujung pertengkaran.

Mau nulis? Lihat caranya yuk!
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia!

Sebagian besar orang Sawu, terutama di Mesara, karib dengan laut. Mereka pelaut ulung dan mempunyai perahu khas, kapa. Semacam pinisi. Bentuknya lebih besar daripada kowa, perahu cadik tradisional. Kapa masuk dalam motif wini Pu Tenga karena cerita Toda Wadu. Dia pergi ke Sumba menggunakan kapa. Di sana dia menikah. Saat balik ke Sawu, saudarinya mencipta motif itu. Sekitar 10-12 generasi lalu,” kata Genevieve.

Pengaruh Luar

Semua orang Sawu menganut kepercayaan asli, jingi tiu. Setidaknya sampai 1860-an, saat Misi Kristen masuk secara besar-besaran. Sawu mulai terbuka. “Apabila hingga pertengahan pertama dari abad ke-19, Sawu relatif terisolir, maka sepanjang dekade 1860-an secara beruntun Sawu mengalami kont?” yang makin intensif dengan dunia ” luar,” tulis Nico L. Kana. Pengaruhnya terasa di tenun ikat. Antara lain muncul teknik ikat tiga warna dalam satu lajur ikat.

“Tren baru dalam hal teknik ini memiliki tampilan menarik yang mungkin dikaitkan dengan kombinasi dari dua faktor: munculnya kelas penguasa baru dan konversi ke agama Kristen,” tulis Genevieve dalam katalog Pameran Tekstil Sawu.

- Advertisement -

Daud D. Tallo dalam “Pergeseran Kebudayaan Orang Sawu Pada Fungsi Kain Tenun Ikatnya di Desa Limaggu-Kupang NTT“, tesis untuk Universitas Indonesia, memandangnya sebagai hasil difusi kebudayaan. Difusi itu berimbas pada motif tenun ikat Sawu.

“Motif-motif ini muncul belakangan yakni pada zaman Belanda misalnya motif pohon yang diambil adalah bunga, daun atau sulur-sulur daun, hewan seperti singa, burung, kupu-kupu, dan sebagainya,” tulis Daud. Perempuan Sawu beroleh motif itu dari buku, tirai, atau sarung bantal Eropa.

Orang Sawu menggunakan tenun ikat bermotif tak asli untuk hidup keseharian. Tanpa perlu memandang asal-usul hubi dan wini-nya. Saat upacara ritus hidup seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian, mereka wajib menggunakan tenun ikat bermotif khas hubi dan wini. Apalagi perempuan muda penenun kian langka di Sawu. “Waktu mereka habis bersekolah. Pulang langsung mengerjakan tugas,” lanjut Eu Dane O.

- Advertisement -
Baca Juga :  Mengenal Suku Laut Kepulauan Riau, Penjaga Selat-selat Kesultanan Malaka

Kini bisnis pariwisata memikat banyak orang di Sawu. Wisatawan tertarik dengan keindahan tenun ikat Sawu. Bahkan ada yang ingin membeli tenun ikat bermotif hubi dan wini warisan keluarga. Tawaran uangnya sering menggiurkan. Sebagian orang Sawu gamang juga. Sementara para calon pembeli tak mengerti makna historis kain Sawu.

“Ada asumsi bahwa masyarakat yang tidak menulis adalah masyarakat yang tak punya sejarah. Tapi di Sawu tekstil adalah sejarah,” kata Genevieve. Jual beli tenun  ikat warisan keluarga berarti mengancam sejarah orang Sawu.

Dengan memakai pakaian adat Sawu, secara tidak langsung mengingatkan orang tentang ancaman terhadap makna pakaian Sawu.

- Advertisement -