Tak semua penduduk bisa mengerjakan dua teknik itu secara sempurna. Perlu tempaan khusus dan waktu lama. Tugas itu jatuh ke perempuan. Maka perempuan Sawu belajar menenun sejak kecil. Hampir semua tenun ikat Sawu berasal dari perempuan dan bercerita tentang hidup mereka.
Makna di Balik Motif
Perempuan Sawu terbagi atas dua klan matrilineal (hubi) besar. Ceritanya bermula dari lomba menenun moyang orang Sawu, yaitu dua saudari sekandung, Muji Babr (kakak) dan Lou Babo (adik). Waktunya tak pasti. Sekira 40 generasi lampau. Yang jelas, lomba itu berujung pertengkaran. Masing-masing mempertahankan keunggulan motif utamanya.
Motif utama (hebe) Muji Babo berciri persegi, geometris, tiga buah belah ketupat (wokelaku), dan berwarna lebih terang. Lou Babo punya motif utama lebih rumit. Berupa garis-garis bergelombang (ei ledo) dengan warna lebih gelap.
Kemudian dua saudari itu berketurunan. Keturunan Muji Babo membentuk klan Bunga Palem Besar (hubi ae). Dari garis Lou Babo muncul klan Bunga Palem Kecil (hubi iki). Dua klan itu terpecah lagi menjadi beberapa benih (wini), sekira 20 generasi lampau. Yang berasal dari hubi ae antara lain wini D’ila Robo, Ga Lena, Pji, Mako, Migi, dan Raja. Sementara dalam hubi iki ada wini Jawu, Wara Tada, dan Pu Tenga. Semua wini itu terbagi lagi atas sub-sub wini.
Ragam hias semua wini hampir serupa: terbagi atas beberapa bagian seperti medi ae (baris hitam lebar), ehu (pusat motif), juli ngiu (motif kecil), raja (tenun lungsi tambahan), beka (sambungan tengah), henga (jarak kosong pada akhir baris ikat), dan wurumada (ujung atas dan bawah). Tapi motif utamanya bisa berbeda antara satu wini dengan lainnya. Bahkan antar sesama wini. Tergantung cerita moyang mereka.
Motif wini Ga Lena, misalnya, berasal dari pengalaman D’illa Tededari Mesara dan D’illa Nawadari Dimu. Mereka hidup pada masa pendudukan Portugis abad ke-16. Mereka mengunjungi Solor (Flores Timur) untuk membantu raja setempat. Dinilai berjasa, mereka beroleh keranjang pusaka yang berukir ornamen lokal. Mereka merekacipta ornamen itu dalam tenun saat kembali ke Sawu. Sebutan ornamen itu kobe morena.
Ada lagi cerita lain. Masih dari wini Ga Lena. Yang ini tentang penolakan perempuan terhadap rencana pernikahan buatan keluarganya. Mojo Lado, nama perempuan itu, kabur dari kampungnya, Nadawawi. Berarti dia tak bisa lagi memakai motif tenun ikat memakai motif tenun ikat keluarganya.
Mojo Lado sampai di kampung Seba dan bertemu Haba Jami, Raja Seba. Mereka menikah meski aturan lokal tak memperkenankannya. Mojo Lado pun tak bisa memakai tenun ikat setempat. Identitas keturunan Mojo Lado terancam mengabur. Sebab di Sawu identitas seseorang dilihat dari pakaiannya. Maka dia mencipta motif baru, kobe molai. “Peristiwa ini berlangsung di akhir abad ke-16,” tulis Genevieve dalam Woven Stories Traditional Textiles from the Regency Savu Raijua, katalog pada Pameran Tekstil Sawu Raijua.
Sejarah di balik tenun ikat wini Pi’i dan Mako tak kalah menarik. “Dua klan ini terhubung dengan penguasa Sawu dan memiliki sejumlah motif. Terbatas untuk pemakaian para raja, terutama motif Patola,” tulis Genevieve dalam Ikat Weavings and the Social Organisation on The Island of Savu, Eastern Indonesia. Motif ini berasal dari sutra ikat India.
Orang Portugis dan Belanda berperan mengenalkan motif ini. Mereka sering menghadiahkan sutra ikat India ke penguasa lokal dan bangsawan. Penenun dari wini Pi” dan Meko mengubahsuaikan motif itu khusus untuk para raja. Orang biasa tak boleh mengenakannya. Kain itu disebut /eba. “Sekarang leba tak mutlak untuk raja atau bangsawan karena kelas ini sudah tidak ada,” kata Genevieve.
Leba juga bisa berbentuk naga. Ini ciri keturunan Dima Riwu. Keturunannya tak merujuk ke wini manapun. Dima Riwu keturunan Wenyi Daku, moyangnya wini Pi’i dan Mako. Dia menikah dengan Tero Weo, raja dari Menia (Sawu Barat).
Manuskrip Belanda abad ke-18 memuat nama Tero Weo. Dia senang bercanda dengan istrinya di sebuah kursi. Mamo Tero, putrinya, mengabadikannya pada tenun ikat dengan menambah ornamen naga. Genevieve menyebut ornamen ini “pinjaman” karena orang Sawu tak mengenal naga.
Motif hewan terjumpa pula pada tenun ikat wini Mako. Ini kreasi otentik mereka. “Karena ayam jadi sesaji dalam semua ritual menenun mereka, perempuan wini Mako mengambil ayam sebagai simbol wini-nya untuk menghormati moyang mereka,” tulis Genevieve. Ada dua sebutan untuk motif ini: manu (ayam) dan tutu (patuk). Bergantung pada posisi ayamnya, berdiri atau mematuk.
Sementara wini Wara Tada berutang pada hewan laut. Ceritanya beragam dan lebih kental dengan mitos. Tapi semua bermuara ke hewan laut. Moyang mereka hidup terhindar dari bencana karena binatang laut. Maka binatang laut jadi motif mereka. Tradisi ini berlanjut sampai sekarang. Dan terjewantah dalam laku hidup. Mereka tak berburu dan memakan ikan paus. Sekalipun paus itu terdampar. Malah mereka menutupi tubuh paus itu dengan kain tenun ikat.
Selain binatang, wini Wara Tada memiliki motif lain. Biasa disebut jari leru (mulai mencari lebih dalam). Ini tentang harapan seorang ibu bertemu kembali dengan putrinya. Dia mencipta motif ini saat putrinya hilang. Sang ibu tak lain salah seorang moyang Wara Tada. Koleksi ini tersimpan di Tropenmuseum, Belanda.