“Selamat datang kembali. Kami sudah sangat merindukan kalian. Tapi mengapa Nasrun tidak terlihat hari ini. Apakah dia sakit?” Tanya Bapak Don selaku ketua adat Kawah. Sementara ini, Nasrun penuh dengan tanggung jawab. Pekerjaan menumpuk belum diselesaikannya.
Kampung Kawah sudah gelap. Hawa dingin menusuk tulang. Aku belum memakai jaket. Suara anjing dan babi ramai di pelataran. Mengapa mereka belum juga istirahat? Apa yang diinginkan mereka?
Setidaknya keberisikan mereka tidak sampai mengganggu tidur kami malam itu. Itu adalah harapan baik. Ini kedua kalinya. Kedatangan kami belum juga dipahami oleh sebagian masyarakat Kawah.
Mereka masih tetap bertanya lebih jauh. Mereka ingin memastikan kembali tentang aktivitas kami di gunung. Anggapan mereka, kami adalah utusan Dinas Pariwisata Nagekeo. Sebelum itu konflik pemikiran antara Kampung kawah dan Otoritas Dusun 3 sudah terjadi. Dianggap mereka, kami dan Kampung Kawah telah bersekongkol.
Lupakan masalah itu. Kita kembali ke pembahasan lain. Perutku terasa sakit. Aroma busuk keluar perlahan dari lubang dubur yang dibungkus celana. Itu adalah kentut senyap, racikan dari perpaduan jenis makanan yang masuk ke dalam lambung.
Semua menutup hidung. Saling menatap satu sama lain. Tak ada pengakuan siapa pelakunya. Beberapa menit kemudian. Suara letupan keras datang dari lambung yang keracunan. Aku sudah tak nyaman dengan ini.
Dimana toilet? Semua diam. Seolah lidah terkunci atau mati rasa untuk bergerak. Dimana toilet? Dimana toilet? Pertanyaan berulang kali. Toilet di belakang rumah. Di dalam kebun bersebelahan kandang babi. Ucap Bapak Don sedikit tertunduk malu.
Aku lari secepat mungkin sebelum celana berlumuran cairan emas berbau busuk itu. Tapi aku tak menemukan toilet, hanya kandang babi, pagar kayu dan anjing yang menggonggong. Aku harus segerah buka celana, duduk jongkok.
Anak babi, induk babi hingga keluarga besar babi datang mendekat. Aku dikelilingi babi. Mereka menyaksikan seorang manusia yang sedang ritual buang hajat. Hey babi. Kalian pasti sangat senang melihat ini kan? Pantatku putih mulus aduhai.
Tapi ini bukan bagian dari adegan pornografi. Aku sakit perut. Aku tidak peduli dengan ini. Tapi jangan pernah mencoba menyerudup pantatku juga kemaluanku, atau kalian akan dipanggang malam ini.
Kehidupan Kampung Kawah
Hamparan luas adalah jantung perburuan masyarakat kawah. Kehidupan natural yang mengidentikan karakter tunggal kepedalaman. Kami terkesima dengan pertunjukan-pertunjukan kecil masa lalu.
Wilayah ini adalah surga. Ruang dimana segala kebutuhan hidup terpenuhi. Wilayah ini juga sudah menjadi idola peburuan. Datang dari berbagai suku pedalaman. Tapi kebakaran hebat pernah terjadi selama sepekan lebih di tahun 70-aa. Api seperti kerasukan, datang dengan cepat dan meluas. Kebun lenyap seketika. Ketakutan meninggalkan kesedihan mendalam.
Nyaris saja kampung kawah musnah terbakar. Tapi waktu itu, hujan tiba- tiba turun, campur tangan nenek moyang dan Tuhan sekaligus. Gunung Amegelu telanjang berdiri. Segala satwa dan jenis pepohonan mati terpanggang.
Ini peristiwa besar. Menyimpan luka juga kesedihan mendalam. Kini tak ada lagi, Kampung kawah dapat tersenyum lagi. Lebih manis dari buah nanas milik Bapak Don yang pernah kami nikmati.
Namun, berburu serta membakar hutan bukan bagian dari budaya. Perilaku itu adalah murni melanggar hukum. Kau akan menyaksikan saat malam hari di musim kemarau panjang. Di perbukitan Nagekeo akan lebih sering terjadi.
Mentari pagi menyembulkan sinar dari balik pegunungan Amegelu. Puncak tinggi berdiri gagah penuh misteri. Permadani hijau membungkus bumi. Bukit dan gunung tersebar sejauh mata memandang, seperti kerut-merut yang tak beraturan namun tetap harmoni.
Manusia merayap di sekujur tubuh pegunungan, membuat perkampungan yang hanya sebesar noktah saja jika dilihat dari angkasa. Noktah yang menyelimuti sekujur gunung menyiratkan kebesaran Tuhan dan kerdilnya manusia.
Tentang surga. Itu berlebihan. Tak ada surga di sini. Mata kalian sudah buta melihat realitas. Itu hanya gambaran yang penuh dengan kebohongan. Sekarang kalian akan rasakan sendiri betapa susah payahnya mendapatkan air minum disini.
Kalian harus turun ke mata air dan memikulnya sendiri ke atas. Kalian juga sudah rasakan betapa sulitnya perjalanan masuk menuju kesini. Apakah itu masih dikategorikan Surga? Kampung Kawah adalah lahan destinasi perebutan suara perpolitikan paling strategis. Satu persatu mengkampanyekan tentang kesejahteraan. Tapi kawah masih demikian rumit. Mereka akan terus berdoa sampai benar-benar Tuhan merasa jenuh.
Pemasangan Tranggulasi
Tinggalkan Kawah. Kita berpindah ke rutinitas lain. Sekarang waktu kami belum mencapai target. 30 Desember harus bergegas menuju gunung. Beban pertama yang dipikul adalah peralatan tim, pribadi, makanan dan air.
Tapi, kali ini kami harus membuat keputusan lebih tepat. Kami tidak menginginkan peristiwa buruk terjadi lagi. Eksplorasi pertama dapat dinyatakan sebagai pelajaran penting. Kami kehilangan jalur saat turun gunung. Lebih mengerikan, Nasrun dan Firman secara tiba-tiba pergi ke arah lain. Dan kami, Rogal, Daeng Flo serta Amril pergi ke arah lain.
Kami terpisah menjadi dua kelompok. Jalan lebih panjang. Debit air berkurang. Dehidrasi mulai terasa. Tenggorokan perih, wajah memucat. Air tinggal sedikit. Pembagian air harus disamaratakan. Penutup botol aqua adalah takaran sempurna.
Dua sloki penutup botol untuk satu orang. Air yang pertama masuk ke mulut jangan dulu ditelan. Setidaknya bersamaan dengan sloki kedua, sehingga tenggorokan tetap basah 20 menit.