Tradisi pada hakekatnya adalah kebiasaan sosial yang diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya melalui proses sosialisasi baik kebiasaan perilaku, kebiasaan yang sakral atau keyakinan seseorang terhadap benda. Tradisi juga menentukan nilai-nilai masyarakat, seperti pada tradisi Sayyang pattu’du. Mari berkenalan dengan tradisi dari Sulawesi Barat ini!
Sayyang pattu’du muncul sejak datangnya Islam ke tanah Mandar, awalnya kuda sebagai alat transportasi yang digunakan oleh keturunan bangsawan untuk menyebarkan agama Islam di Mandar, dan dalam pertemuan ajaran Islam dengan budaya Mandar melahirkan tradisi yang berkembang menjadi tradisi sayyang pattu’du atau acara keagamaan.
Masyarakat Mandar mengartikan tradisi sayyang pattu’du adalah atraksi kuda menari yang digelar untuk mengapresiasi seorang anak yang khataman Al-Quran, tradisi ini dilaksanakan pada bulan maulid atau memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw di Mandar.
Penyelenggaraan tradisi sayyang pattu’du dimaksudkan sebagai motivasi bagi seorang anak, agar tekun dan serius dalam mempelajari dan membaca al-Quran. Ketika seorang anak baru memulai belajar mengaji, orang tua akan mengiming-imingi anaknya apabila berhasil mengkhatam al-Quran, maka diberikan apresiasi tinggi dengan mengarak keliling kampung menunggangi sayyang pattu’du.
Sayyang pattu’du diiringi musik tabuhan rebana dan untaian pantun khas Mandar (kalinda’da’), dengan lantunan shalawat sebagai doa, serta bukti rasa cinta serta penghormatan yang ditujukan pada Rasulullah saw.
Bagi masyarakat Mandar, acara khatam al-Qur’an dan budaya sayyang pattu’du sudah memiliki keterkaitan yang sangat erat. Sehingga tradisi sayyang pattu’du tetap dilestarikan dengan baik, bahkan penyelenggaraan pesta budaya ini sudah berlangsung cukup lama, tetapi tidak ada yang tahu pasti kapan pertama kalinya dilaksanakan.
Bahkan jika seseorang belum melaksanakan tradisi sayyang pattu’du, dianggap masih menjadi tanggungan guru mengaji atau sederhananya masih menjadi anak dari guru mengaji tersebut.
Sayyang pattu’du tidak diperuntukkan bagi anak-anak yang sudah khatam Quran, bahkan lebih dari itu peran dan fungsinya bergeser. Tradisi ini juga sering diselenggarakan manakala ada tokoh (pejabat publik, elit politik) saat datang di tanah Balanipa Mandar dan penyambutan wisatawan asing.
Perbedaan tradisi sayyang pattu’du pada saat khataman al-Qur’an dan penjemput tamu, dilihat pada pakaiannya. Apabila seorang anak perempuan yang khataman al-Qur’an, maka memakai busana muslimah yang tertutup atau pakaian layaknya seorang haji (badawara).
Sementara anak laki-laki yang khataman al-Qur’an, maka memakai jubah (pakaiannya mirip orang Arab), sedangkan sayyang pattu’du pada saat penjemputan tamu, memakai baju adat Mandar (pokko) lengkap dengan perhiasan.
Melansir dari berbagai sumber, sayyang pattu’du sudah menjadi agenda tahunan penyelenggaraan festival di Kabupaten Polewali Mandar, Kabupaten Majene dan Kabupaten Mamuju. Biasanya, para peserta terhimpun dari berbagai kampung yang ada di desa Daerah tersebut. Diantara para peserta ada yang datang khusus dari desa sebelah, bahkan ada juga yang datang dari luar Kabupaten, maupun luar Provinsi Sulawesi Barat.
Budaya mandar adalah budaya yang ada di provinsi sulawesi barat, dan masyarakatnya senantiasa melestarikan budaya tersebut. Tetapi saat ini, sebagian daerah sudah mengkolaborasikan dengan sentuhan-sentuhan modern.
Seiring berjalannya waktu di tengah masuknya islam dan besarnya pengaruh islam terhadap budaya di tanah mandar disertai dengan pengaruh raja pada saat itu, terjadi islamisasi dan akulturasi budaya.