Tradisi ini sudah ada sejak zaman Majapahit, dengan istilah menetak gulu ayam. Tabuh rah kemudian menyebar ke Bali sekitar tahun 1200, bersama dengan pelarian orang-orang Majapahit.
Tabuh rah, yang sering diadakan dalam rangkaian upacara Butha Yadnya, didasarkan pada berbagai lontar seperti Siwa Tattwapurana dan Yadnya Prakerti, serta prasasti Batur Abang I tahun 933 Saka dan Prasasti Batuan tahun 944 Saka.
Sabung Ayam di Tana Bugis-Makassar
Di kebudayaan Bugis, sabung ayam juga sudah lama menjadi bagian dari tradisi. Menurut M. Farid W. Makkulau, istilah manu’ (Bugis) atau jangang (Makassar) yang berarti ayam, sangat lekat dalam kehidupan masyarakat Bugis Makassar.
Gilbert Hamonic menyebutkan bahwa mitologi ayam sangat kental dalam budaya Bugis. Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin, bahkan diberi gelar “Haaantjes van het Oosten” yang berarti “Ayam Jantan dari Timur” karena keberanian dan kepemimpinannya.
Dalam kitab La Galigo, diceritakan bahwa tokoh utama epik tersebut, Sawerigading, gemar menyabung ayam. Dahulu, seseorang dianggap pemberani (to-barani) jika memiliki kebiasaan minum arak (angnginung ballo), berjudi (abbotoro’), dan massaung manu’ (adu ayam).
Keberanian seseorang sering diidentikkan dengan ayam jantan paling berani di kampungnya, seperti “Buleng – bulengna Mangasa, Korona Mannongkoki, Barumbunna Pa’la’lakkang, Buluarana Teko, Campagana Ilagaruda (Galesong), Bakka Lolona Sawitto, dan lainnya.
Hal penting yang jarang diungkap dalam buku sejarah adalah fakta bahwa awal konflik dan perang antara dua kekuatan besar di Sulawesi Selatan, Kerajaan Gowa dan Bone, dimulai dengan “Massaung Manu”. Pertarungan antara ayam dari Bone dan Gowa ini menjadi pemicu utama.
Pada tahun 1562, Raja Gowa X, I Mariogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng (1548 – 1565) melakukan kunjungan resmi ke Kerajaan Bone dan disambut sebagai tamu negara. Acara tersebut dimeriahkan dengan sabung ayam. Raja Gowa, Daeng Bonto, mengajak Raja Bone La Tenrirawe Bongkange’ untuk bertaruh dalam pertandingan tersebut.
Raja Gowa mempertaruhkan 100 katie emas, sedangkan Raja Bone mempertaruhkan segenap orang Panyula (satu kampung). Sabung ayam antara dua raja penguasa semenanjung ini bukan sekadar permainan biasa, melainkan pertandingan kesaktian dan kharisma. Hasilnya, ayam sabungan Gowa yang berwarna merah (Jangang Ejana Gowa) mati terbunuh oleh ayam sabungan Bone (Manu Bakkana Bone).
Kematian ayam sabungan Raja Gowa menjadi simbol kekalahan kesaktian dan kharisma Raja Gowa oleh Raja Bone, sehingga Raja Gowa Daeng Bonto merasa terpukul dan malu. Tragedi ini dianggap sebagai peristiwa siri’ oleh Kerajaan Gowa.
Sebaliknya, kemenangan Manu Bakkana Bone menguatkan posisi psikologis Kerajaan Bone terhadap kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya. Dampak positifnya, tidak lama setelah peristiwa sabung ayam tersebut, kerajaan-kerajaan kecil seperti Ajang Ale, Awo, Teko, serta negeri Tellu Limpoe segera bergabung dengan Kerajaan Bone, dengan atau tanpa tekanan militer.
Ternyata, sabung ayam di masa lalu di Nusantara bukan hanya sekadar permainan rakyat, tetapi juga merupakan budaya politik yang mempengaruhi perkembangan sebuah dinasti kerajaan.