Selain ritual ini, masyarakat Tolotang memiliki tradisi lain yang kaya makna, seperti permainan masamper, yang merupakan atraksi saling menyepak dengan kaki. Masamper bukan sekadar permainan, tetapi sarat akan nilai kepribadian, keberanian, dan kebersamaan yang ditanamkan kepada masyarakat. Permainan ini juga dilaksanakan pada acara sipulung, pertemuan besar tahunan yang mempertemukan komunitas dalam suasana kebersamaan dan pelestarian tradisi.
Bagi Tolotang, keyakinan mereka tidak mengenal surga dan neraka, tetapi mereka percaya adanya kehidupan lain yang mereka persiapkan sejak di dunia. Kitab suci mereka yang disebut Lontara sempat dipercaya terbakar, sehingga sebagian besar ajaran disampaikan melalui tradisi lisan dan ritual tahunan yang terus dijaga.
Secara antropologis, Tolotang dapat dikategorikan sebagai agama lokal karena memiliki unsur-unsur utama yang terdapat dalam agama-agama formal: adanya Tuhan, nabi, sistem kepercayaan, dan ritual khusus.
Namun, pada masa pemerintahan Orde Baru di era Soeharto, hanya ada enam agama yang diakui resmi oleh negara, sedangkan kepercayaan lokal seperti Tolotang tidak termasuk. Oleh karena itu, pemerintah menawarkan komunitas Tolotang untuk memilih salah satu agama yang diakui negara—Kristen, Islam, atau Hindu.
Pemimpin komunitas Tolotang, atau uwak, saat itu melihat bahwa dari tiga pilihan yang ditawarkan, kepercayaan mereka paling mendekati agama Hindu Bali. Melalui surat Dirjen Bimas Hindu nomor 2 dan nomor 6 tahun 1996, Tolotang diakui sebagai bagian dari agama Hindu Bali meskipun praktik ibadah mereka tidak mengikuti ajaran Hindu secara konvensional, seperti mendirikan pura atau mengikuti ritual khas Hindu.
Pengakuan ini lebih dimaksudkan sebagai perlindungan administratif agar mereka tetap memiliki status agama dalam sistem kewarganegaraan, karena Indonesia mengharuskan setiap warga negara memilih agama yang diakui resmi.
Walaupun tidak ada ritual formal yang mengikat, komunitas Tolotang berkumpul di sekitar makam tokoh mereka, Pak Beres, dengan harapan dan keyakinan akan kebenaran ajaran yang mereka anut. Dalam acara sipulung yang kami hadiri, suasana khusyuk terasa saat mereka memanjatkan doa bersama.
Saat ditanya mengenai identitas agama mereka, salah satu anggota menjelaskan bahwa mereka bukan Hindu, melainkan penganut agama asli Bugis yang menyembah Dewata Sewa. Mereka percaya pada konsep akhirat yang mereka sebut linu faiman, di mana lino berarti dunia yang akan datang.
Dalam struktur kepercayaan mereka, terdapat tingkatan pemimpin, seperti uwak, yang memiliki hak untuk menerima dan menyampaikan ajaran. Dari pengalaman kecil saya, satu kalimat yang selalu teringat adalah bahwa orang Tolotang memegang prinsip kehidupan yang kuat, yang memungkinkan mereka berbaur dengan komunitas mayoritas.
Prinsip ini menjadi pegangan utama, membantu mereka menghindari konflik dengan masyarakat Muslim di sekitar mereka, dan memungkinkan mereka tetap eksis hingga saat ini. Prinsip hidup yang mereka anut tidak hanya meneguhkan identitas mereka, tetapi juga menjadi jembatan dalam interaksi sosial yang harmonis.
Dalam komunitas Tolotang, tidak ada simbol pakaian khusus yang membedakan mereka dari masyarakat umum. Para lelaki mengenakan kemeja biasa, sarung, dan songkok, mirip dengan penampilan masyarakat Muslim pada umumnya. Ketika melaksanakan ritual sipulung, mereka tetap mengenakan pakaian tersebut, namun tanpa sandal sebagai bagian dari tradisi.
Ada sebuah cerita yang berkembang tentang Sawerigading, yang konon pernah bertemu dengan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dan menyampaikan pesan untuk masuk Islam.
Keberadaan komunitas Tolotang juga menjadi bagian tak terpisahkan dari akulturasi antara peradaban Bugis dan Islam, yang mulai terjadi sekitar tahun 1609 Masehi.
Saat itu, terjadi konflik antara kepercayaan lama dan ajaran Islam di Kerajaan Sidenreng. Namun, pemimpin-pemimpin dari Tolotang dan para uwak berhasil menyelesaikan konflik tersebut melalui dialog, yang dikenal dengan istilah agamai guru. Dengan cara ini, mereka tetap menjaga identitas dan warisan budaya mereka sambil beradaptasi dengan perkembangan zaman. Salam budaya!