Di bawah langit kelabu yang menyelimuti Dataran Tinggi Gayo, suara gemuruh alat musik tradisional memecah hening. Canang, gegedem, dan gong berpadu, menciptakan irama yang seakan menghidupkan legenda kuno—kisah Gajah Putih dan Sengeda. Tari Guel, sebuah mahakarya dari tanah Gayo, tidak hanya sekadar tarian, tetapi juga pintu menuju dunia magis di mana manusia, alam, dan mitos menyatu dalam harmoni.
Konon, tari ini lahir dari kisah dua bersaudara: Bener Meriah dan Sengeda, putra Raja Linge dengan Putri Malaka. Setelah kepergian Bener Meriah, Sengeda dihantui mimpi misterius. Dalam mimpinya, sang kakak menjelma menjadi seekor Gajah Putih yang anggun namun tak terjangkau. Mimpi itu bukan sekadar bunga tidur—ia menjadi panggilan takdir.
Suatu hari, Sengeda, bersama rombongan kerajaan, tiba di Kraton Aceh Darussalam. Di sana, ia melukis Gajah Putih dari mimpinya. Lukisan itu menarik perhatian seorang Putri Aceh, yang kemudian menceritakan keindahan makhluk itu kepada Sultan. Sang Sultan, penasaran sekaligus terpesona, mengumumkan sayembara untuk menemukan dan membawa Gajah Putih ke kraton.
Namun, Gajah Putih bukanlah makhluk biasa. Ia liar, cerdas, dan memancarkan aura kebijaksanaan yang membuat siapa pun gentar mendekatinya. Hanya Sengeda, yang terhubung dengannya melalui mimpi, yang mampu mendekatinya. Dengan kehalusan jiwa dan kecerdikan, Sengeda memerintahkan orang-orang membunyikan alat musik. Kata guel, yang berarti “membunyikan,” lahir dari momen itu.
Dalam simfoni suara, Sengeda mulai menari. Gerakannya menggambarkan alam: lompatan-lompatan bagai burung yang mengepakkan sayap, lengkungan tangan yang halus menyerupai belalai gajah, dan kibasan kain yang membujuk dengan kelembutan. Setiap gerakan adalah doa, sebuah dialog tanpa kata dengan Gajah Putih. Perlahan, makhluk agung itu tunduk, mengikuti Sengeda dalam tarian yang menjadi simbol persatuan manusia dan alam.
Di pentas tari guel, legenda ini hidup kembali. Penari yang berperan sebagai Gajah Putih duduk diam di tengah panggung, mengenakan kostum Kerawang Gayo bernuansa putih. Sementara itu, penari yang menjadi Sengeda bergerak luwes dan khidmat, berusaha “menjinakkan” sang gajah. Ketika Gajah Putih akhirnya bergerak dan menari bersama Sengeda, penonton disuguhkan momen magis—simbol keberhasilan Sengeda menaklukkan hati makhluk agung itu.
Legenda ini tidak hanya menjadi inti tarian, tetapi juga cerminan nilai-nilai luhur. Dalam banyak budaya Asia, gajah melambangkan kebijaksanaan, kecerdasan, dan keberanian, sebagaimana yang disiratkan dalam tari guel. Oleh karena itu, tarian ini sering menghiasi pesta pernikahan adat Gayo, membawa harapan agar pasangan yang menikah dapat meneladani nilai-nilai tersebut dalam membangun kehidupan bersama.
Gerakan-gerakan tari guel—ayunan bahu yang lembut, hentakan kaki yang tegas, dan kibasan kain Upuh Ulen-Ulen yang megah—menjadi representasi keharmonisan manusia dengan alam. Diiringi alat musik tradisional, tari ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga ritual penuh makna, sebuah warisan yang terus menghubungkan masyarakat Gayo dengan cerita purba mereka.
Di setiap hentakan, setiap alunan, legenda Gajah Putih dan Sengeda terus hidup, menjaga agar Dataran Tinggi Gayo tidak pernah kehilangan magisnya.