Uang panai atau sering juga disebut panaik, merupakan tradisi penting dalam pernikahan suku Bugis-Makassar. Uang panai adalah sejumlah dana yang disiapkan oleh pihak calon pengantin pria untuk membantu biaya pernikahan pihak calon pengantin wanita.
Namun, uang panai sering disalahartikan sebagai mahar. Meskipun sama-sama diberikan oleh pihak pria, keduanya memiliki peran berbeda dalam tradisi Bugis-Makassar. Uang panai ditujukan untuk menutupi berbagai kebutuhan pernikahan keluarga calon mempelai wanita, sedangkan mahar merupakan pemberian khusus dari calon suami kepada calon istri dan menjadi hak penuh miliknya setelah pernikahan resmi.
Penyerahan uang panai ini biasanya dilakukan setelah proses lamaran, yang berlangsung setelah calon mempelai perempuan menerima lamaran tersebut. Selanjutnya, kedua belah pihak akan menentukan jumlah uang panai yang akan diberikan.
Dalam proses pernikahan suku Bugis Makassar, ada beberapa tahapan yang dilalui dalam pemberian uang panai. Tahapan ini melambangkan struktur dan makna yang menentukan kesaklaran pernikahan yang akan dilangsungkan.
1. Mappese’-pese’
Pertama, tahap penjajakan (mappese’-pese’) dilakukan secara diam-diam untuk mencari informasi mengenai calon mempelai perempuan, termasuk status pernikahannya.
Jika diketahui bahwa calon mempelai perempuan belum menikah, maka tahap selanjutnya adalah melakukan proses lamaran dan menentukan waktu untuk madduta.
2. Madduta
Tahap berikutnya adalah kunjungan lamaran (madduta), di mana calon mempelai laki-laki mengutus seseorang untuk menyampaikan lamaran kepada calon mempelai perempuan, biasanya tanpa kehadiran orang tua dari pihak laki-laki. Utusan ini disebut sebagai to madduta, sementara keluarga calon mempelai perempuan dikenal sebagai to ridutai.
Setelah kedatangan to madduta, mereka akan dijemput dan dipersilakan duduk di tempat yang telah disediakan, dan pembicaraan mengenai maksud dan tujuan kunjungan dimulai.
Pada tahap ini, to madduta perlu terampil dalam bernegosiasi dengan keluarga calon mempelai perempuan, dan jika pinangan diterima, kedua belah pihak sepakat untuk melanjutkan ke tahap berikutnya.
3. Mappettu Ada
Setelah itu, pada tahap penerimaan lamaran (mappettu ada), calon mempelai laki-laki dan pihak perempuan bersama-sama mengikat janji berdasarkan kesepakatan yang telah dibahas sebelumnya. Berbagai aspek terkait upacara pernikahan dibahas, termasuk penentuan hari (tanra esso), biaya (doi menre), mas kawin (sompa), dan lain-lain.
4. Penyerahan uang Panai
Pada tahap ini, penyerahan uang panai dilakukan, di mana keluarga calon mempelai laki-laki menyerahkan uang panai kepada keluarga perempuan sebagai biaya untuk proses perkawinan. Selain itu, mereka juga melakukan pemasangan cincin pattenre kepada calon mempelai perempuan dan diakhiri dengan pembacaan doa.
5. Mappaenre Botting
Tahapan mengantar pengantin (mappaenre botting) adalah proses di mana calon mempelai laki-laki diantar ke rumah calon mempelai perempuan untuk melaksanakan berbagai kegiatan, seperti madduppa botting, akad nikah, dan mappasikarawa.
Dalam iring-iringan ini, calon mempelai laki-laki diiringi oleh anak laki-laki, kerabat, dan orang tua yang berperan sebagai saksi pada acara akad nikah. Mereka juga membawa mas kawin dan hadiah-hadiah lainnya.
Setelah akad nikah, tahap berikutnya adalah pesta, yang disebut tudang botting. Ini adalah langkah terakhir dalam proses pernikahan, di mana resepsi (walimah) diadakan untuk para tamu undangan yang hadir, memberikan doa restu, dan menjadi saksi atas pernikahan kedua mempelai. Hal ini bertujuan agar masyarakat tidak merasa curiga saat melihat kedua mempelai berinteraksi dengan mesra.