Di luar tembok keraton, ia bukan lagi sekadar pangeran. Ia adalah pemimpin pemberontakan yang didukung oleh Pangeran Sambernyawa. Bersama, mereka menyalakan api perlawanan yang membakar nyali VOC. Relief di Pagelaran Keraton Yogyakarta kini menjadi saksi bisu dari perjuangan mereka, mengisahkan detik-detik saat tanah Mataram kembali dalam genggaman rakyatnya.
Namun, seperti mesin kompleks yang tak henti berputar, VOC juga bergerak. Pada 1749, ketika Susuhunan Paku Buwono II terbaring lemah, sebuah dokumen ditandatangani: Kerajaan Mataram diserahkan kepada VOC. Ketika Paku Buwono II wafat, putranya yang menggantikan hanya menemukan tahta yang telah kehilangan makna.
Perlawanan Mangkubumi mencapai puncaknya. Strategi, taktik, dan kesetiaan pengikutnya berhasil mendesak pasukan VOC. Gubernur Jawa Utara mundur; Gubernur Jenderal di Batavia jatuh sakit dan meninggal. Dalam langkah pragmatis, VOC mengubah pendekatan. Nicholas Hartingh, dengan kemampuan bahasa Jawa yang fasih, mengutus Syekh Ibrahim, seorang utusan Arab yang dikenal sebagai Tuan Sarip Besar, untuk menawarkan perundingan.
Perundingan ini, seperti perhitungan matematis yang cermat, berujung pada kesepakatan besar. Pada 23 September 1754, konsep awal perjanjian disepakati. Butir-butirnya difinalisasi dalam Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755.
Di bawah langit Kemis Pon, 13 Maret 1755, sebuah era baru lahir. Pangeran Mangkubumi, kini bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I, berdiri sebagai raja pertama Ngayogyakarta Hadiningrat. Keputusannya bukan hanya tentang sebuah kerajaan baru, tetapi juga tentang harapan, perjuangan, dan semangat untuk membangun peradaban yang lebih bermartabat.
Di masa depan, mungkin orang akan menganggap kisah ini sebagai legenda. Namun, di relung hati orang-orang Yogyakarta, ini adalah kenyataan yang menginspirasi selama berabad-abad.
Arsitek Sejati Peradaban Yogyakarta
Lihat postingan ini di Instagram
Di suatu senja tahun 1755, di bawah langit Yogyakarta yang masih hijau dan belum tersentuh hiruk-pikuk modernitas, Sri Sultan Hamengku Buwono I berdiri memandang luasnya cakrawala.
Bagi sang pendiri Keraton Yogyakarta ini, setiap keputusan yang diambil bukan hanya soal takhta, tetapi juga soal keberlanjutan kehidupan. Sejarah mencatat bahwa ia bukan sekadar seorang pemimpin, tetapi juga seorang pemikir, arsitek, dan penjaga nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi peradaban Yogyakarta.
Dalam Babad Nitik Ngayogya, sosok Sultan digambarkan dengan kearifan yang mendalam. Beliau tidak hanya menguasai strategi politik, tetapi juga piawai dalam ilmu tata kota dan arsitektur. Pilihan lokasi Keraton Yogyakarta adalah bukti nyata dari kecerdasannya.
Ia memastikan keraton berdiri di titik yang strategis: diapit oleh Kali Code di timur dan Kali Winongo di barat, dengan Gunung Merapi sebagai penyangga utara dan Laut Selatan yang mistis di selatan. Pilihan ini bukan hanya soal geografis, tetapi juga mencerminkan keseimbangan alam dan spiritualitas.
Arsitektur Keraton Yogyakarta, sepenuhnya dirancang oleh Sultan sendiri, adalah mahakarya penuh filosofi. Setiap bangunan, ruang, hingga tumbuh-tumbuhan yang ditanam di kompleks keraton dirancang dengan simbolisme mendalam.
Di kompleks Taman Sari, istana air yang menjadi bagian dari keraton, Sultan menunjukkan visinya tentang harmoni antara manusia dan alam. Tidak mengherankan jika sejarawan menyebutnya sebagai “a great builder,” sejajar dengan Sultan Agung, penguasa besar Mataram sebelumnya.
Namun, kehebatan Sultan Hamengku Buwono I tidak hanya tercermin dalam bangunan fisik. Beliau juga mewariskan nilai-nilai luhur yang menjadi pedoman hidup masyarakat Yogyakarta.
Konsep Watak Satriya, yang meliputi Nyawiji (konsentrasi total), Greget (semangat jiwa), Sengguh (percaya diri), dan Ora Mingguh (tanggung jawab), mengakar dalam tradisi keraton. Nilai-nilai ini menjadi credo bagi prajurit keraton, Abdi Dalem, dan bahkan dalam gerakan tari Joged Mataram.
Falsafah Golong Gilig Manunggaling Kawula Gusti dan Hamemayu Hayuning Bawono menjadi jembatan antara spiritualitas, tanggung jawab sosial, dan pelestarian alam. Warisan ini bukan hanya pedoman bagi keraton, tetapi juga denyut nadi masyarakat Yogyakarta.
Dalam seni, Sultan Hamengku Buwono I juga meninggalkan jejak yang tak terhapuskan. Karya seperti Beksan Lawung, Tarian Wayang Wong Lakon Gondowerdaya, Tarian Eteng, hingga seni Wayang Purwo mencerminkan kecintaannya pada seni yang menjadi cerminan kehidupan.
Sultan Hamengku Buwono I wafat pada 24 Maret 1792 dan dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan Imogiri. Namun, warisan beliau hidup melampaui zamannya. Pada 3 November 2006, Indonesia mengakui jasa besar beliau dengan gelar Pahlawan Nasional, mengukuhkan nama Sri Sultan Hamengku Buwono I sebagai simbol perjuangan jati diri bangsa.