Pada malam-malam yang dibelai cahaya bulan purnama, jauh sebelum suara gawai mengisi ruang-ruang sunyi, masyarakat Makassar berkumpul di alun-alun, di pelataran rumah panggung, atau di tepian pelabuhan. Di sanalah, duduk seorang passinriliq—tua atau muda—menghadirkan hikayat dalam alunan nada yang nyaris seperti doa.
Tangannya memainkan keso-keso, rebab bersenar dua yang seakan berbicara dalam bahasa langit. Dari bibirnya mengalir syair, bukan sekadar cerita, melainkan pesan leluhur yang dikisahkan turun-temurun.
Mereka menyebutnya sinrili. Sebuah warisan sastra lisan dari tanah Gowa-Tallo, yang tak hanya menyampaikan kisah, tetapi juga menyimpan jiwa. Sinrili bukan hanya suara—ia adalah nadi dari sejarah, pengingat asal mula, sekaligus cermin kehidupan orang Makassar dalam segala luka, cinta, tawa, dan doa.
Di masa kejayaan Kesultanan Makassar, sinrill adalah media yang menyatukan langit dan bumi, raja dan rakyat, Tuhan dan manusia. Syairnya menyampaikan titah dari istana, mengabarkan kejayaan pelaut, membisikkan kisah cinta, hingga menumpahkan haru cerita pengkhianatan dan perang.
Kadang sinrili adalah kabar gembira, kadang ratapan sunyi. Nada-nadanya mengikuti jiwa syair yang dibawakan—mengalun sendu saat bercerita tentang kehilangan, meninggi dan bersemangat ketika mengisahkan kepahlawanan.
Dari suara passinriliq, hidup kembali kisah I Datu Museng yang wafat dalam kesetiaan, I Manakkuk yang menjadi simbol ketabahan, hingga Karaeng Pattingalloang, sang pemikir dari Gowa yang menjembatani dunia timur dan barat.
Di saat hujan turun perlahan, masyarakat menyebutnya sinrili bosi timurung—sinrili yang melankolis, tanpa musik pengiring. Tapi saat keso-keso berdendang, maka itulah sinrili pakeso-keso, suara yang menari bersama irama bumi.
Di masa penjajahan, sinrili menjelma menjadi suara perlawanan yang lembut namun menusuk. Syair-syairnya menyimpan keresahan rakyat yang tak bisa disampaikan dengan lantang. Namun raja-raja mendengarnya, dan rakyat menyalin pesan-pesan itu dalam hati mereka. Maka, sinrili bukan hanya hiburan; ia adalah saluran rahasia, tempat di mana rakyat dan pemimpin saling bersua dalam keheningan yang penuh makna.
Ketika Islam mulai menyapa tanah Sulawesi Selatan, sinrili tidak lenyap. Ia menyesuaikan diri. Syair-syairnya mulai menyisipkan nilai-nilai tauhid, kisah nabi, dan ajaran moral yang menyentuh nurani. Maka, pada akhirnya, sinrili menjelma menjadi suara spiritual, pengantar hati kepada Yang Maha Tinggi.
Kini, mungkin tak lagi setiap malam bulan purnama kita temukan passinriliq duduk di tengah lingkaran, ditemani kopi dan tatapan khusyuk. Namun sinrili belum mati. Di acara-acara adat, panggung budaya, hingga dalam rekaman radio lokal yang sunyi, sinrili masih menyanyikan jiwanya. Ia mungkin berubah bentuk, namun ruhnya tetap sama: menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan.
Sejak tahun 2013, sinrili telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh pemerintah Indonesia. Tapi lebih dari sekadar pengakuan, slnrili hidup dalam batin orang Makassar. Dalam setiap baitnya, kita diajak mengenang—bukan hanya tentang siapa kita, tetapi juga tentang bagaimana kita ingin dikenal oleh generasi setelah ini.
Karena sinrili bukan hanya cerita yang diceritakan. Ia adalah cara orang Makassar mengabadikan jati dirinya: dengan suara yang lembut namun abadi, dengan syair yang tak sekadar dilantunkan, tetapi dirasakan. Maka saat kau dengar keso-keso mulai dimainkan dan suara itu mengalun perlahan, duduklah, diamlah, dan dengarkan—karena engkau sedang menyimak suara jiwa sebuah bangsa yang tak pernah padam.