Perjalanan ke Kampung Adat Wolotolo menawarkan pengalaman mendalam bagi para pelancong yang penasaran tentang budaya Indonesia. Kampung ini di wilayah Lio-Ende, Flores, memamerkan kombinasi unik dari Tradisi Leluhur dan elemen arsitektur khas. Dengan rumah-rumah yang mengelilingi pusat pelataran sakral, Wolotolo menawarkan pandangan unik tentang bagaimana budaya dan sejarah berbaur harmoni.
Melangkah ke dalam kampung ini, Anda akan menemukan bahwa tidak semua orang bisa membangun kampung adat baru. Hanya mereka dengan hubungan leluhur langsung yang diizinkan melakukannya. Hubungan erat dengan leluhur Embu Nggoro-Lepembusu menjadi prasyarat penting, menandakan kekuatan tradisi dan garis keturunan dalam pembentukan komunitas baru.
Tubumusu: Simbol Kekuasaan Adat
Di tengah kampung, berdiri tubumusu, sebuah batu keramat yang dianggap sebagai simbol kekuatan dari para tetua adat. Tubumusu bukan hanya benda mati, tetapi merupakan pusat ritual di mana warga kampung mempersembahkan sesajen untuk memohon kepada Du’a Nggae.
Proses menyiapkan tubumusu dimulai dengan pemilihan batu khusus dan pengorbanan darah kerbau, mengikuti tarian sakral yang menghantarkan batu menuju lokasinya.
Keda: Tempat Roh dan Musyawarah
Lihat postingan ini di Instagram
Keda dalam bahasa Lio berarti bangunan tradisional dengan atap menjulang. Tempat ini digunakan sebagai balai untuk pertemuan para pemimpin adat dan penyimpanan benda-benda bersejarah.
Dalam pandangan masyarakat Lio, keda adalah simbol manusia pertama dan dianggap sebagai tempat tinggal roh leluhur, menunjukkan hubungan spiritual yang kuat antara penghuni kampung dan nenek moyang mereka.
Tidak sembarang orang boleh menyentuh keda atau mengubah struktur atapnya yang terbuat dari alang-alang. Ini adalah pusat spiritual di mana hanya mereka yang memiliki hubungan keturunan Lepembusu yang diizinkan untuk membangunnya. Keda menjadi tempat sakral yang menjaga sejarah dan nilai-nilai leluhur agar tetap hidup di tengah perubahan zaman.
Kanga: Pelataran Suci dan Pusat Upacara
Songkang asing datang dan memilih untuk menetap di Lio karena kanga, pelataran suci yang terletak di pusat kampung. Ruang ini digunakan untuk segala macam ritus keagamaan suku Lio yang asli.
Di tengah-tengah kanga terdapat tubumusu, melambangkan keseimbangan antara kekuatan maskulin dan feminin. Dalam budaya Lio, kanga dianggap sebagai simbol perempuan, menyatu dengan tubumusu yang mewakili laki-laki. Kedua elemen ini saling menguatkan dalam ritus penyatuan spiritual yang mendatangkan berkah bagi masyarakat.
Kanga juga menjadi tempat untuk melangsungkan gawi, tarian adat yang dilakukan pada ritus-ritus tertentu. Dengan enam tangga yang terbuat dari batu alam, masing-masing mempunyai makna simbolik, menjadi jalur bagi masyarakat untuk menyampaikan doa dan harapan mereka melalui ritual.