Sarung tenun merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang kaya akan nilai estetika, simbolisme, dan kearifan lokal. Selain berfungsi sebagai pakaian sehari-hari, sarung tenun memiliki peran penting dalam berbagai upacara adat dan tradisi di Nusantara.
Setiap daerah di Indonesia memiliki corak dan motif tenun yang berbeda-beda, yang mencerminkan identitas budaya serta nilai-nilai yang dijunjung oleh masyarakat setempat.
Fungsi
Tenun Tembe Nggoli memiliki berbagai fungsi dan jenis yang berbeda. Di antaranya adalah Tembe Songke, yang merupakan sarung tenun unggulan, Sambolo (destar) yang digunakan sebagai ikat kepala bagi laki-laki yang memasuki usia remaja, serta Weri, yang merupakan ikat pinggang yang terbuat dari Malanta Solo.
Selain itu, terdapat juga Baju Mbojo dan Syal atau selendang, yang biasa dikenakan oleh pria Bima sebagai hiasan saat menghadiri pesta, serta digunakan sebagai selempang untuk para wanita.
Cara mengenakan sarung Nggoli berbeda antara laki-laki dan perempuan. Bagi laki-laki, sarung dipakai dengan digulung ketat di bagian perut atau pinggang, yang dalam bahasa Bima disebut “katente tembe.” Sementara itu, kaum perempuan mengenakan sarung sebagai bawahan dengan cara dilipat dan dijepit agar tidak terlepas, yang dikenal dengan istilah “sanggentu tembe.”
Upaya Pelestarian
Saat ini, Tembe Nggoli semakin langka karena jumlah penenun yang berkurang. Proses menenun yang rumit dan penggunaan alat tradisional membuat anak-anak zaman sekarang enggan untuk belajar menenun.
Untuk memajukan perekonomian masyarakat dan mengatasi kemiskinan di desa, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) harus terus beradaptasi dan bersaing. Upaya untuk mendorong masyarakat bergabung dalam UMKM perlu ditingkatkan, sehingga pemasaran produk tenunan khas daerah menjadi lebih mudah.
Pemerintah Provinsi NTB juga berperan aktif melalui program industrialisasi produk unggulan daerah, yang diharapkan dapat memberikan manfaat ekonomi dan meningkatkan pendapatan masyarakat.