Indahnya savana siang kemarin tak terlihat lagi. Dingin, menusuk hingga ke tulang. matahari pagi seakan tak berdaya. Panasnya kalah telak oleh lembutnya embun.
Pagi itu, Kibo dan Amm masih sibuk dengan mimpi masing-masing, terlelap hingga lupa menyapa mentari. Lelah dan dingin mungkin jadi penyebabnya.
Masih teringat jelas janji mereka bangun pagi malam sebelum terlelap. Janji yang kini teracuka, teringkari. Padahal matahari telah berada cukup tinggi. Gerombolan pendaki pun telah bersiap melahap tanjakan menujuh puncak.
Kibo adalah rekan sekaligus teman jalan saya. Di dekatnya saya merasa aman. Setiap akan melakukan perjalanan jauh, saya selalu berpesan padanya, “Pastika saya pulang dengan selamat!” Kata-kataku itu selalu dijawabnya dengan kalimat yang cukup menyakinkan. “Tenang saja, semua akan baik-baik saja selama kita tak berbuat hal yang salah.”
Kemampuan navigasi dan surfivernya tak pernah saya ragukan. Pengalamannya sebagai anggota Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) membuat ia menguasai beberapa hal tentang bertahan hidup dalam kondosi esktrim sekaligus.
Ia juga begitu mudah berteman dengan semua orang. Keakbaran yang ia bangun kadang memberi kami nasib baik. Diberi makan gratis atau diperbolehkan tinggal di rumah orang yang baru kami kenal.
Ia juga teman yang baik. Bersamanya saya membangun Dimensi Indonesia. Mengunjungi banyak dan keliling Indonesia adalah impian kami. Sesuatu yang kini mulai kami wujudkan.
Lombok jadi provinsi luar Sulawesi Selatan yang pertama Dimensi Indonesia kunjungi. Sebuah kota tempat gunung Rinjani berada. Gunung yang konon dihuni dewi anjani, telah berhasil mengundan ribuan orang kepuncangnya. Ia ibarat bunga semerbak yang mengundang serangga tuk mengisap madunya. Dan kami salah satu lebah itu.
Dan jatuh cinta adalah jatuh cinta. Dan saya jatuh cinta bahkan sebelum melihatnya. Dan semuanya dimulai hari itu, dari sebuah keinginan melampaui batas, keinginan menembus awan dan menyentu langit.