Di sebuah tanah lapang di Sulawesi Selatan, derap gendang mulai memecah keheningan sore. Para lelaki berpakaian adat Bugis-Makassar membentuk lingkaran rapi. Di tengahnya, bola rotan melambung tinggi, lalu disambut telapak kaki seorang pemain yang melenting ringan. Namun ini bukan sekadar sepak takraw—ini adalah paraga, warisan budaya yang menari di antara tradisi, seni, dan kejantanan.
Bagi masyarakat Bugis dan Makassar, paraga bukan cuma permainan. Ia adalah jejak zaman, ritual masa silam, sekaligus ekspresi kebudayaan yang mengakar kuat di tengah perubahan. Dalam setiap gerakannya yang lincah dan penuh irama, paraga mempertemukan olah tubuh dan estetika; antara kekuatan dan kelembutan.
Konon, paraga sudah dimainkan sejak masa To Manurung, raja pertama Kerajaan Gowa, menurut naskah-naskah lontara. Awalnya, hanya para bangsawan yang berhak memainkannya—diperlihatkan dalam upacara penobatan raja, atau menyambut tamu agung dari kerajaan lain. Namun waktu mengubah banyak hal. Paraga perlahan menyatu dengan rakyat, menjelma sebagai ajang adu ketangkasan para pemuda untuk memikat hati gadis-gadis desa.
Meski sepintas mengingatkan pada sepak takraw, paraga menyimpan kekhasan yang membuatnya jauh lebih dari sekadar olahraga. Bola rotan diolah dengan kaki, kepala, bahu, hingga lengan dalam berbagai posisi: berdiri, jongkok, bahkan rebah.
Dalam posisi mana pun, bola tidak boleh menyentuh tanah. Gerakannya kerap menyerupai tarian, diiringi denting pui-pui, getaran calung, dan tabuhan gendang serta gong. Musik menjadi jiwa yang menghidupkan setiap putaran bola di udara.

Setiap pemain mengenakan busana adat lengkap dengan passapu, penutup kepala khas yang bukan hanya pelengkap pakaian, tapi juga alat bantu menangkap bola dengan kepala—menjadi semacam mahkota yang menandai kehormatan dalam permainan ini.
Dalam permainan, para pemain bergantian mengendalikan bola tanpa saling merebut. Sebuah filosofi halus tersirat di sana: bahwa hidup adalah tentang peran yang dijalani dengan tertib dan saling menghormati.
Salah satu atraksi yang paling memukau dari paraga adalah formasi menara atau appanca. Enam orang saling menopang tubuh membentuk susunan vertikal, dan pemain di puncaknya mengendalikan bola dari ketinggian—seolah bola itu adalah dunia, dan mereka penari langit yang menjaga keseimbangannya. Formasi ini bukan sekadar keterampilan akrobatik, melainkan simbol gotong royong, kerja sama, dan kepercayaan satu sama lain dalam budaya Bugis dan Makassar.
Dari waktu ke waktu, paraga terus bertransformasi. Dari permainan istana menjadi hiburan rakyat, dan kini menjadi pertunjukan budaya di berbagai festival. Namun, esensinya tak pernah luntur. Di banyak desa, para lelaki muda masih berkumpul tiap sore bersama para tetua yang mengajarkan teknik dan nilai. Warisan ini hidup dalam semangat yang terus diturunkan lintas generasi.
Paraga bukan cuma permainan. Ia adalah pertunjukan. Ia adalah seni. Ia adalah jejak dari zaman ketika tradisi hidup di setiap denyut napas masyarakat. Dan kini, saat ia terus dipentaskan di atas tanah Sulawesi maupun panggung-panggung budaya di seluruh Nusantara, paraga mengingatkan kita bahwa tak semua hal harus dilupakan oleh waktu—beberapa di antaranya justru harus terus dimainkan, dihidupkan, dan diwariskan. Seperti bola rotan yang tak pernah dibiarkan jatuh ke tanah.