Kedua pakaian yang telah diangkat kemudian dibawa ke kamar pengantin, yang menandakan penggabungan harta kekayaan yang harus dijaga bersama, termasuk harta kekayaan nonmaterial seperti orang tua. Calon pengantin pria ikut masuk ke dalam kamar calon pengantin wanita, menandakan bahwa hanya ialah pria yang boleh masuk ke kamar itu.
Calon pengantin pria selanjutnya membelah mayang jambe dengan hati-hati, agar tidak rusak atau patah. Mayang jambe ini menandakan kelembutan hati wanita, sehingga seorang suami harus memperlakukan istrinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.
Setelah itu, mempelai pria akan dipersilahkan untuk membelah pinang menjadi dua, yang melambangkan bahwa pasangan suami istri harus seperti peribahasa ‘Bagai pinang yang dibelah dua’.
Hal ini juga menggambarkan tiga sifat utama pandangan hidup orang sunda, yaitu ‘Silih Asih, Silih Asuh, dan Silih Asah,’ yang berarti saling menyayangi, menjaga dan mengajari. Calon pengantin pria kemudian diminta untuk menumbuk alu ke dalam lumping yang dipegang oleh calon pengantin wanita.
Kedua calon pengantin kemudian diminta untuk membuat lungkun, yaitu dua lembar daun sirih bertangkai berhadapan yang digulung memanjang menjadi satu dan diikat dengan benang kanteh.
Hal ini dilakukan oleh kedua calon pengantin dan setiap orang tua yang hadir, sebagai lambang kerukunan. Sisa sirih yang ada lalu dibagikan kepada orang-orang yang hadir. Hal ini berarti jika dikemudian hari kedua calon pengantin memiliki rejeki berlebih, mereka harus selalu berbagi dengan keluarga yang membutuhkan.
Kedua calon pengantin dan para tamu kemudian akan berlomba mengambil uang yang ada di bawah tikar, sesuai dengan aba-aba Nini Pangeuyeuk. Hal ini menandakan bahwa pasangan suami istri mau bekerja keras untuk mencari rejeki demi kesejahteraan rumah tangga dan agar dikasihi oleh sanak saudara.
Sisa-sisa Ngeuyeuk Seureuh kemudian akan dibuang ke persimpangan jalan oleh kedua calon pengantin dan para tetua. Setelah membuang sisa-sisa ini, mereka tidak diperbolehkan menoleh kebelakang.
Hal ini melambangkan bahwa calon pengantin sudah membuang hal-hal yang buruk dan mengharapkan kebahagiaan dalam menempuh hidup baru. Sisa-sisa Ngeuyeuk Seureuh ini dibuang di persimpangan jalan agar segala keburukan dari keempat penjuru angin tidak datang.
Prosesi yang terakhir adalah menyalakan tujuh buah lilin. Hal ini diambil dari kosmologi Sunda akan jumlah hari yang diterangi matahari, sehingga melambangkan harapan akan kejujuran dalam membina kehidupan rumah tangga.