Siang itu di desa Mbawa, langit tampak mendung dengan hujan yang turun sesekali. Di puncak gunung Leme, awan-awan menyelimuti dengan kesan mistis, seolah menjaga kekudusan desa ini. Terletak di bawah kaki gunung Leme, rumah-rumah di desa Mbawa membentang seperti tangga, satu di atas yang lain. Mereka hidup berdampingan dengan tanah pegunungan yang diberkati oleh leluhur.
Di tengah pemukiman Mbawa, terdapat Uma Mbolo, rumah sederhana berukuran 4×4 meter dengan tinggi 3 meter. Namun, satu Uma Mbolo istimewa dibiarkan kosong sebagai tanda penghormatan kepada leluhur. Ruang itu disebut Ndoi ra Dala atau lebih singkatnya Ndoi. Bagi masyarakat Mbawa, Ndoi adalah tempat sakral untuk mengenang leluhur.
Ndoi bukan sekadar simbol. Ketika seseorang sakit, ia bisa menginap di Ndoi dengan membawa daun sirih dan pisang. Setelah sembuh, keluarga akan membawa bahan makanan untuk dimasak di sana, prosesi yang disebut ‘Ngaha Caru’. Dalam kepercayaan Mbawa, menginap di Ndoi berarti memohon berkah leluhur, di mana arwah mereka diyakini memberikan kesehatan dan kekuatan.
Hanya dua orang yang diizinkan menginap di Ndoi: orang yang sakit dan Ompu, seorang laki-laki dari keturunan Ndoi. Meski sendirian, orang bisa merasakan energi keramat dari ruang tersebut. Aura leluhur seolah mengalir tanpa perlu mantra atau ritual khusus. Keyakinan dan niat untuk sembuh menjadi penentu keajaiban yang bisa terjadi di sana.
Kepercayaan di Mbawa dipengaruhi oleh Katolik, Protestan, dan Islam, namun, sejarah spiritual masyarakat ini dimulai dari kepercayaan lokal Parafu ro Waro. Keyakinan tersebut mencakup penghormatan kepada para dewa dan roh suci leluhur yang menjaga keseimbangan alam semesta.
Ama Ngonta, tetua di Mbawa, menjelaskan asal-usul Ndoi. Konon, Ndoi berawal dari seorang leluhur yang hilang secara misterius setelah meninggal, istilah yang mereka sebut ‘Mbora‘. Dari kejadian itulah, Ndoi pertama dibangun untuk mengenang kepergian leluhur tersebut. Dalam bahasa Bima, Ndoi berarti ‘milik’, menandakan milik para leluhur.
Saat ini, dari 12 Uma Ndoi yang pernah ada, hanya dua yang tersisa: Ndoi Tuta Rasa dan Ndoi Paha Woha. Keturunan dari Ndoi Paha Woha, seperti Ama Ume, terus merawat warisan leluhur mereka. Meskipun keluarga Ama Ume menganut Katolik, mereka tetap menjaga kepercayaan leluhur terhadap keberadaan sakral Uma Ndoi.
Bagi keluarga Ama Ume, Ndoi bukan hanya bagian dari tradisi, tetapi juga pengingat akan asal-usul dan hubungan dengan leluhur. Sementara hanya tersisa tiga tempat bagi leluhur di Mbawa, yaitu Ndoi Tuta Rasa, Ndoi Paha Woha, dan Uma Ncuhi, masing-masing menyimpan cerita dan sejarah yang mendalam bagi komunitas mereka.
Ruang sakral Ndoi di desa Mbawa merupakan lambang dari hubungan yang erat antara masyarakat dengan leluhur mereka. Di tengah perubahan zaman dan pengaruh kepercayaan baru, tradisi ini tetap dipertahankan sebagai bagian dari identitas budaya. Bagi masyarakat Mbawa, Ndoi adalah lebih dari sekadar ruang kosong, tetapi jembatan spiritual antara masa lalu dan masa kini.
Source: Mbojoklopedia