Cairan itu bukan sembarang minuman—ia adalah Moke, minuman tradisional masyarakat Flores yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Bagi penduduk lokal, Moke bukan sekadar minuman beralkohol, tetapi simbol penghormatan, persaudaraan, dan bagian dari adat yang telah berakar dalam kehidupan sosial mereka.
Namun, ada aturan tak tertulis dalam budaya ini. Jika seorang tamu tidak dapat mengonsumsi Moke—entah karena alasan kesehatan, keyakinan, atau sekadar preferensi pribadi—mereka boleh menolaknya dengan halus. Tak akan ada paksaan. Justru, orang Flores akan menjauhkan Moke dari tamu tersebut sebagai bentuk penghormatan.
Asal Usul dan Produksi Moke
Moke berasal dari pohon Lontar (Borassus flabellifer) dan Enau (Arenga pinnata). Pohon-pohon ini harus mencapai usia matang, sekitar 25 tahun, sebelum dapat digunakan. Dari sanalah proses panjang pembuatan Moke dimulai.
Buah dan bunga dari pohon yang telah dipilih akan diiris dengan hati-hati menggunakan golok. Dari irisan ini, mengalir tetesan air nira yang kaya akan gula alami. Beberapa produsen juga mengambil getah dari batang pohon untuk meningkatkan hasil panen. Dalam sekali produksi, satu pohon dapat menghasilkan sekitar delapan hingga sepuluh liter air nira.
Air yang telah dikumpulkan lalu dimasukkan ke dalam priuk atau kuali besar untuk dididihkan di atas tungku kayu. Proses ini memanfaatkan prinsip destilasi sederhana: saat suhu meningkat, alkohol dalam cairan lebih cepat menguap dibandingkan air. Uap ini kemudian dialirkan melalui pipa bambu sepanjang tiga hingga empat meter, sebelum akhirnya mengembun dan menetes ke wadah penampung.
Pembuatan Moke bukan sekadar keahlian turun-temurun, tetapi juga melibatkan pemahaman yang mendalam tentang fermentasi dan distilasi. Kadar alkoholnya bervariasi, biasanya antara 20-30%. Namun, di Aimere—pusat produksi Moke terbesar di Flores—beberapa pengrajin dapat menyulingnya hingga mencapai kadar alkohol 70%. Ini membuat Moke memiliki karakteristik yang lebih kuat dibandingkan minuman beralkohol tradisional lainnya di Nusantara.
Kualitas dan Nilai Ekonomi
Bagi para penikmatnya, ada cara sederhana untuk menguji kualitas Moke terbaik: dengan membakarnya. Jika api bisa menyala di atas permukaan cairan, maka Moke tersebut dianggap memiliki kadar alkohol yang tinggi dan lebih murni. Untuk mencapai tingkat kemurnian ini, Moke harus melalui proses penyulingan tambahan, biasanya dua hingga tiga kali, dengan setiap tahap membutuhkan waktu sekitar enam jam.
Moke yang telah disuling berkali-kali memiliki harga yang lebih tinggi. Di pasaran, harga per botol berkisar antara Rp25 ribu hingga Rp50 ribu, tergantung pada kualitas dan kadar alkoholnya. Meski secara komersial masih kalah dengan minuman beralkohol industri, Moke memiliki peran besar dalam perekonomian masyarakat lokal. Produksinya menghidupi banyak keluarga di Flores, dari petani lontar hingga pengrajin destilasi tradisional.
Antara Tradisi dan Regulasi
Meski Moke telah menjadi bagian dari budaya dan ekonomi lokal, status hukumnya di Indonesia masih abu-abu. Beberapa daerah telah berupaya untuk melegalkannya, mengikuti jejak minuman tradisional lain seperti sake di Jepang atau baijiu di Tiongkok. Regulasi yang tepat bisa membantu meningkatkan kualitas produksi dan memastikan standar keamanan konsumsi, sekaligus mempertahankan warisan budaya yang telah berjalan berabad-abad.
Di tengah modernisasi dan perubahan sosial, Moke tetap bertahan sebagai saksi sejarah kehidupan masyarakat Flores. Ia lebih dari sekadar minuman—ia adalah simbol kehidupan, persaudaraan, dan sebuah warisan yang terus mengalir, seperti tetesan nira dari pohon lontar di bawah langit Nusa Tenggara Timur.