Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur masih menjadi salah satu destinasi wisata yang menarik, baik secara nasional maupun internasional. Dengan kekayaan alam dan tradisi yang unik, Pulau Sumba terus mengembangkan strategi untuk menarik lebih banyak wisatawan.
Hingga saat ini, Pulau Sumba termasuk salah satu pulau yang paling berpengaruh dan unggul di wilayah Nusa Tenggara Timur.
Sebagai wujud penghormatan dan sambutan kepada setiap tamu yang datang, masyarakat Sumba kerap menampilkan Tari Kataga yang mencerminkan kekayaan budaya mereka. Tari Kataga memiliki nilai seni, filosofis, serta sejarah yang menarik.
Tentang Tari Kataga
Kataga adalah tarian perang yang berasal dari Sumba Barat. Kata “Kataga” berasal dari kata “Taga” yang berarti memenggal kepala. Awalan “Ka” menambahkan makna “Mari kita penggal kepalanya”.
Berdasarkan arti tersebut, Tari Kataga menggambarkan suasana kegembiraan atas kemenangan dalam perang antar suku. Tarian ini umumnya diperankan oleh laki-laki yang membawa properti berupa pedang dan perisai.
Dalam pertunjukan Tari Kataga, jumlah penari biasanya mencapai 30 orang. Mereka dibagi menjadi dua kelompok, menggambarkan peperangan antara dua suku.
Tarian ini memiliki nilai sejarah yang mencerminkan ketangkasan, kekuatan, dan keberanian masyarakat Sumba zaman dahulu. Selain itu, gerakan Tari Kataga juga mengandung unsur-unsur seni yang kuat.
Hingga kini, masyarakat Sumba terus melestarikan tarian ini bukan sebagai representasi perang yang sebenarnya, melainkan sebagai pertunjukan seni dalam berbagai acara seperti upacara adat, pembangunan rumah, pendirian kampung baru, pesta pernikahan, festival budaya, dan acara besar lainnya, termasuk untuk menyambut tamu kehormatan.
Awal Mula Tari Kataga
Menurut sejarah yang diceritakan oleh para budayawan, asal mula Tari Kataga terkait dengan tradisi perang di masa lalu, tepatnya di Desa Anakalang. Pada masa itu, sering terjadi perang tanding antar marga (kampung dan suku).
Peperangan tersebut sangat menakutkan, di mana mayat-mayat berserakan di medan perang. Bagi pihak yang kalah, kepala mereka akan dipenggal dan dibawa pulang oleh pihak pemenang sebagai simbol kemenangan. Kepala musuh kemudian digantung di andung (pohon yang berada di depan rumah) dan dibiarkan membusuk hingga tinggal tulang.
Jika ada pihak ketiga yang mengusulkan perjanjian damai antara kedua suku yang berperang, tengkorak musuh akan diambil oleh keluarga korban untuk dikuburkan secara adat, sebagai simbol perdamaian.
Tari Kataga pada dasarnya memperagakan bagaimana cara mereka berperang. Gerakannya memperlihatkan cara menyerang, menangkis, menghindar, hingga memenggal kepala musuh. Namun, seiring perkembangan zaman, gerakan perang tersebut diubah menjadi gerak tari yang kini dikenal sebagai Tari Kataga.
Gerakan dan Teknik dalam Tari Kataga
Ada empat gerakan utama yang biasanya ditampilkan dalam Tari Kataga, yaitu Kataga Horung, Harama, Pitak, dan Negu. Kataga Horung adalah gerakan maju dengan perhitungan maju satu langkah dan mundur setengah langkah, bertujuan untuk menyerang lawan dan mundur untuk bertahan.
Kataga Harama adalah gerakan maju sambil menyerang musuh dan mempertahankan barisan. Kataga Pitak merupakan gerakan persiapan untuk menyerang. Sedangkan Kataga Negu adalah gerakan menari sambil berteriak, dengan posisi tubuh sedikit membungkuk dan pedang diarahkan ke samping kanan. Pedang tersebut dinaik-turunkan sambil tangan kiri memegang perisai.
Selain keempat gerakan utama tersebut, para penari juga menggerakkan tameng (Toda), mengayunkan pedang, berlari kecil, dan menepuk perisai saat melakukan formasi berbaris. Jika diperhatikan, teknik gerakan dalam Tari Kataga hampir mirip dengan gerakan olahraga. Misalnya, Kataga Horung menyerupai gerakan squat, dan Kataga Pitak mirip dengan gerakan lompat tegak.
Selama pementasannya, Tari Kataga tidak hanya diiringi teriakan dan tepukan perisai para penari. Suara gong dan tambur juga dimainkan oleh sekitar lima hingga enam orang dengan irama yang cepat untuk mengiringi tarian ini.
Selain itu, tarian juga melibatkan suara gemerincing lonceng yang dipasang di tubuh penari serta syair-syair lagu peperangan. Semua unsur ini berpadu harmonis menghasilkan irama khas yang memperkuat suasana tarian.