Di atas kajang ini pula, mereka mencari pasangan hidup dan membentuk keluarga baru. Kelompok suku laut akan mendarat di suatu pulau jika mereka hendak mengambil air bersih, mengebumikan anggota kelompoknya yang meninggal dunia, dan menjual ikan hasil tangkapannya.
Untuk melindungi diri dari perompak, mereka juga menyertakan seekor anjing yang dalam bahasa mereka disebut koyok. Ada juga membawa burung betet yang digunakan untuk mengetahui keadaan cuaca, melalui kicauan atau gerak geriknya.
Sebagian besar bayi lahir di dalam sampan saat berada di tengah lautan. Tidak sedikit yang meninggal dunia karena tidak adanya pertolongan dari tenaga medis, baik bidan, perawat, maupun dokter. Hal ini tentu saja karena kondisi yang serba minim dan tidak memenuhi persyaratan sebuah persalinan.
Mereka percaya bahwa bayi yang lahir di sampan yang sedang berlayar merupakan orang suku laut yang sesungguhnya. Sesuai tradisi, bayi itu pun langsung dimandikan air laut dan ditetesi air laut ke bibirnya.
Sejak kanak-kanak, mereka sudah diajarkan cara-cara hidup di lautan. Mulai saat berlabuh, memasang layar, mendayung, memfungsikan mesin kapal serta isyarat-isyarat khusus menghadapi ancaman, serta kehidupan pribadi.
Misalnya, jika kedua dayung sampan disilangkan, artinya kedua orang tuanya sedang bermesraan, sehingga tidak boleh diganggu. Termasuk, jika kedua orang tuanya pergi dari tepi pantai sekitar 100 meter, artinya sedang memadu kasih. Isyarat itu berlaku bagi masyarakat Suku Laut.
Umumnya, untuk mencari nafkah, mereka mencari ikan dengan cara menombak. Ikan yang ditangkap memakai tombak (nyuluh) untuk dimakan sendiri. Pasalnya, kondisi ikannya rusak, sehingga jika dijual di daratan, harganya menjadi murah.
Selain itu, mereka juga memasang ‘bubu’ di tengah laut untuk mendapatkan ikan dalam jumlah besar. Biasanya, dilakukan saat bulan purnama ketika ikan berkeliaran dalam kelompok besar.
Sementara bila terdampar di perairan Singapura, umumnya tidak ditangkap polisi karena mengetahui kalau mereka berasal dari suku laut di Kepulauan Riau. Selain itu orang China Singapura juga kerap membutuhkan mereka untuk membeli ikan teripang. Ikan ini tidak hanya favorit bagi suku laut, tetapi juga warga Singapura.
“Mereka berani membeli dengan harga dolar Singapura yang tinggi. Transaksi dilakukan di tengah lautan,” tulis Andul Rahman dalam buku “Menantang Gelombang: Kehidupan Suku Laut di Pulau Bertam Perairan Batam”.
Suku Laut yang hilangkan tradisi
Memiliki akar tradisi bahari yang sangat kuat, kehidupan suku laut tentu sangat kental dengan hukum adat yang menginduk pada kebudayaan maritim. Namun, Pemerintah Kepulauan Riau terus berupaya agar suku laut bisa menetap, pendataan dan berbagai pendekatan terus dilakukan.