Aksara Lontara adalah warisan budaya yang menakjubkan dari masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Dengan sejarah panjang sejak abad ke-14, aksara ini menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari dan sastra selama berabad-abad. Sayangnya, perannya perlahan tergantikan oleh huruf Latin. Namun, upaya pelestarian terus dilakukan agar aksara ini tetap hidup dan dikenal di dunia internasional.
Lontara berasal dari kata ‘lontar’, yaitu daun palem yang digunakan sebagai media tulis tradisional. Aksara ini unik karena tidak memiliki garis melengkung, melambangkan kejujuran masyarakat Bugis. Dalam sejarahnya, naskah I La Galigo, epos terbesar dunia, ditulis dalam aksara Lontara, menempatkannya di jajaran warisan budaya dunia oleh UNESCO.
Asal Usul Masyarakat Bugis
Masyarakat Bugis menempati wilayah Sulawesi Selatan, termasuk Kabupaten Luwu, Wajo, dan Bone. Mereka mengikuti jejak raja pertama kerajaan Tiongkok di Pammana, La Sattumpugi. Julukan ‘to ugi’ merujuk pada pengikut raja tersebut. Hubungan kekerabatan dengan La Galigo, sastrawan Bugis terkenal, menambah kekayaan sejarah mereka.
Lontara sebagai Media Tulisan
Aksara Lontara menjadi saksi bisu peradaban Bugis. Diciptakan pada abad ke-14 oleh Daeng Pamette atas permintaan Raja Gowa, aksara ini digunakan untuk menulis pesan penting jauh sebelum kertas ditemukan.
Lontara ditulis dari kiri ke kanan tanpa spasi, dengan estetika garis lurus yang mencerminkan budaya jujur Bugis. Sistem abugida ini mengandalkan konteks karena tidak ada tanda virama untuk konsonan mati. Misalnya, ‘sr’ bisa diartikan ‘sarang’ atau ‘sara’.
Perkembangan dan Pengaruh I La Galigo
Epos I La Galigo menandai puncak penggunaan aksara Lontara di Sulawesi. Ditulis pada daun lontar, teks ini berbentuk gulungan unik dan dibaca dari kiri ke kanan. Naskah ini tersimpan di Tropenmuseum, Belanda, dan diakui UNESCO sebagai Memory of The World.
Tantangan dan Modernisasi
Memasuki abad ke-20, aksara Lontara mulai ditinggalkan. Kini, hanya diajarkan sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah Sulawesi Selatan.
Upaya mempertahankan keberadaan Lontara terus dilakukan. Salah satunya terlihat pada puisi besar di Leiden, Belanda, dan pendaftaran ke Unicode sebagai aksara dunia.
Lontara di Ranah Digital
Guru besar Ilmu Bahasa berharap aksara ini dapat digitalisasi agar diwariskan terus. Tujuan ini bisa dicapai dengan menghadirkan Lontara dalam perangkat elektronik dengan desain huruf yang sesuai aslinya.
Pelestarian Melalui Pendidikan dan Teknologi
Di era digital ini, pelestarian Lontara membutuhkan pendekatan kreatif. Yayasan Aksara Lontaraq Nusantara telah mendaftarkan aksara ini ke Unicode pada 1990-an, menjadikannya bagian dari standar internasional. Ini memungkinkan aksara Lontara untuk muncul di komputer, laptop, dan telepon seluler.
Penerapan aksara Lontara sebagai bagian dari kurikulum sekolah di Sulawesi Selatan menunjukkan komitmen terhadap budaya lokal. Lebih dari sekadar pelajaran, ini adalah upaya memperkenalkan generasi muda pada akar budaya mereka. Hanya dengan mengenal dan memahami warisan ini, mereka bisa melanjutkan estafet menjaga aksara Lontara.
Keunikan Bentuk Aksara
Aksara Lontara memiliki karakteristik unik dengan garis lurus, menandakan kejujuran.
Pola garis tebal atas dan tipis bawah memberi makna mendalam: kebulatan tekad dan kesopanan. Garis patah di titik temu menunjukkan sikap tegar yang enggan menyeleweng dari kejujuran.
Pergeseran dari Lontara ke Latin
Aksara Lontara mulai tergantikan oleh huruf Latin setelah abad ke-20. Meskipun masih diajarkan di sekolah, penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari mulai berkurang. Namun, kekhasan dan sejarahnya terus menarik minat para peneliti dan penggemar budaya.
Di beberapa tempat di Sulawesi Selatan, Lontara masih menghiasi papan nama dan penunjuk jalan, menjaga esensi budaya Bugis agar tidak pudar. Ini menjadi benteng terakhir yang mempertahankan keberadaan aksara tradisional di tengah arus modernisasi.
Semangat dan Harapan untuk Masa Depan
Masyarakat Bugis kini dihadapkan pada tantangan melestarikan aksara mereka. Namun, semangat untuk menjaga warisan ini tetap hidup. Dengan digitalisasi, diharapkan Lontara bisa menjadi bagian dari teknologi modern, memungkinkan lebih banyak orang mengenal aksara ini.
Meski mengalami tekanan modernisasi, upaya gigih masyarakat dan lembaga kebudayaan memastikan Lontara tetap berada di panggung dunia. Harapan terus menyala bagi aksara ini untuk beradaptasi dengan teknologi dan menjadi identitas kebanggaan bangsa.
Lontara, Identitas yang Harus Dijaga
Menyadari pentingnya Lontara sebagai identitas budaya, masyarakat dan pemerintah berupaya melestarikan aksara ini. Lusinan tahun setelah penggunaannya menurun, Lontara kembali mendapat tempat di hati masyarakat.
Dalam memori sejarah dan budaya, Lontara menjadi simbol keberlanjutan tradisi Bugis di era modern. Usaha tanpa henti untuk memperkenalkan aksara ini kepada dunia menunjukkan dedikasi tinggi untuk menjaga warisan ini tetap hidup.