Asal usul nama “Wolotopo” berasal dari dua kata, yaitu “Welu” yang berarti meletakkan, dan “Topo” yang berarti parang. Kampung Adat Wolotopo dikenal sebagai salah satu perkampungan megalitikum yang unik karena dibangun dari batuan besar dan terletak di lereng bukit. Masyarakat yang mendiami kampung ini terkenal karena keuletan mereka dalam kerajinan tenun ikat dan juga sebagai produsen terbesar bengkoang di Kabupaten Ende.
Kampung adat ini memiliki ciri khas dengan rumah-rumah yang dibangun di tepi tebing, menciptakan pemandangan yang memukau. Di dalam kampung ini, Anda akan menemukan dua bangunan rumah adat yang masih dalam kondisi baik.
Di depan rumah adat digunakan sebagai tempat peristirahatan abadi bagi para tokoh adat dan anggota keluarga. Di sekitar kuburan ini, terdapat teras-teras yang digunakan sebagai kuburan keluarga, sementara di puncaknya digunakan sebagai tempat pemakaman para tokoh adat. Seluruh teras kuburan ini dihiasi dengan batu-batu alam yang disusun dengan rapi.
Di tengah kampung, Anda akan menemukan sebuah tempat pemakaman leluhur yang disebut Bhaku. Wolotopo memang salah satu kampung yang kukuh mempertahankan beragam ritual dan warisan budaya yang diwariskan oleh leluhur mereka, membuatnya menjadi salah satu tujuan yang unik dan menarik untuk dikunjungi.
Desa Wolotopo terletak di pinggir Pantai Selatan, di Kecamatan Ndona, Kabupaten Ende, Flores, Indonesia. Desa ini terletak di atas bukit batu dan dapat dijangkau dengan mudah, berjarak sekitar 8 kilometer atau sekitar 30 menit perjalanan dari Bandara H.H. Aroeboesman, Pelabuhan Laut, dan Ibu Kota Kabupaten Ende.
Ketika Anda tiba di Wolotopo, Anda akan disambut dengan pemandangan eksotis dari Laut Selatan, termasuk matahari terbenam yang memukau. Selain keindahan alamnya, desa ini juga menawarkan daya tarik budaya yang meliputi kunjungan ke Kampung Adat Wolotopo, Rumah Adat Wolotopo, serta berbagai kegiatan seni dan budaya yang akan memperkaya pengalaman Anda.
Wolotopo juga menawarkan berbagai kegiatan wisata buatan seperti proses tenun ikat tradisional, trekking, mancing, dan eksplorasi pekarangan rumah. Wisatawan diajak untuk mendalami budaya Wolotopo melalui berbagai seremoni adat yang diadakan di sana.
Untuk akomodasi, masyarakat lokal menyediakan homestay yang memungkinkan wisatawan untuk tinggal, merasakan kehidupan sehari-hari penduduk setempat, dan menikmati kuliner khas Wolotopo.
Keindahan Desa Wolotopo
Desa Wolotopo juga dikenal sebagai salah satu desa adat yang paling sering dikunjungi oleh wisatawan, selain Desa Moni. Biasanya menjadi tujuan wisata penunjang saat berkunjung ke Danau Kelimutu.
Desa Wolotopo memiliki daya tarik khusus karena masih mempertahankan dan melestarikan tradisi megalitik. Bangunan dan rumah adat di desa ini dibangun di atas susunan batu yang tinggi dan kokoh, mengikuti kontur tanah yang berundak-undak. Bebatuan yang digunakan untuk membangun rumah-haus ini diperoleh dari laut dan gunung, yang disusun sedemikian rupa sehingga memungkinkan pembangunan rumah di atasnya.
Sebagian rumah adat memiliki struktur rumah panggung rendah yang didukung oleh batu lonjong dan kayu. Atap rumah tradisional ini biasanya terbuat dari rumbia, meskipun beberapa telah menggunakan seng. Di sekitar halaman rumah, Anda akan melihat tumpukan batu yang lebih dikenal sebagai menhir.
Salah satu daya tarik utama desa ini adalah rumah adat yang telah bertahan selama lebih dari 7 generasi. Rumah adat ini terletak di bukit dekat pemukiman penduduk dan terkenal karena arsitektur dan teknologi kuno yang sangat kuat dan tahan gempa. Keunikan lainnya adalah bahwa rumah adat ini dibangun tanpa menggunakan paku, kecuali beberapa bagian yang menggunakan pasak kayu.
Rumah adat Wolotopo memiliki panjang sekitar 12 meter dan lebar 10 meter, dengan atap terbuat dari rumbia. Dulunya, desa ini memiliki 4 rumah adat besar atau sao ria, yaitu sa’o tarobo, sa’o ata laki, sa’o sue, sa’o taringi. Namun, saat ini hanya tersisa dua, yaitu sa’o ata laki dan sa’o sue.
Selain rumah adat, di bukit yang indah ini, Anda juga akan menemukan bangunan kayu kecil yang disebut kedha kanga, yang digunakan sebagai tempat pemakaman, termasuk penyimpanan tulang-tulang leluhur dan bahkan mumi.
Di atas bukit ini juga terdapat batu-batu menhir dan batu sesaji yang digunakan untuk upacara adat. Pemandangan di atas bukit dengan pemandangan Laut Selatan yang indah semakin menambah pesona tempat yang sangat sakral ini. Gunung Iya yang berwarna biru keabu-abuan tampak anggun berdiri di tengah Laut Flores.