Kampung Adat Wajomara. Nagakeo adalah kota yang elok. Dari Barat, puncak Agulogo dan Ineire sambung menyambung memaparkan kecantikan. Pemandangan indah lainnya adalah kampung adatnya. Rumah mungil dimakan usia itu begitu karismatik. Mencuap sendiri ditengah gemerlapnya rumah moderen berlantai keramik.
Rumah adat rata-rata berusia ratusan tahun. Ada beberapa yang mulai lapuk dimakan usia. Ada juga yang telah dihuni hingga belasan generasi. Lantas, bagaimana rasanya tinggal disini?
Motor kami mogok berkali-kali. Jalan tak mudah, meliuk-liuk, naik turun gunung. Apa jadinya kalau harus mendorong dijalan yang sepi? Dibawah rintik hujan, kami bergerak pelan dengan susah paya. Zaman memang relatif, gunung-gunung boleh abadi, tapi manusia dengan peradaban dan sejarah masing-masing sebenarnya bergurat dalam takdir yang tergurat oleh keabadian.
Matahari mulai meninggi. Wajomara tampak sunyi, dibalut kesederhanaan yang karismatik itu menyapa kami hari itu. Udara sejuk memanjakan pikiran, merasuki tubuh. Rumah sederhana berbaris rapi. Kontras dengan pemukiman moderen yang mengurung mereka. Kampung adat itu dibangun membentuk huruf ‘U’.
Saling berhadapan dilahan seluas lapangan bola. Ketua adat akan menghuni rumah diujung tengah. Mereka tak perlu menaru zona aman mereka dalam tembok tak tertembus. Menakjubkan, karena banyak tempat didunia lain, memercayai orang lain sudah jadi hal langka. mungkin satu-satunya keributan disini adalah anjing besar yang berkeliaaran menggongi orang baru.
Bagaimana rasanya tinggal disini? Senyum manis Mama Imelda merekah sempurna. Ibu berhidung mancung berkulit sawo matang itu, memandang saya dengan tatapan tajam. Matanya terpejam lalu mengatahan satu kata “damai”.
Rumah adat memang sangat sederhana. Bangunannya sangat bersahabat dengan alam karena semua material yang digunakan merupakan material alami seperti kayu, bambu dan atap ilalang. Bahkan terdapat beberapa rumah yang sama sekali tidak menggunakan paku untuk menyatukan setiap bagiannya.
Menurut kepercayaan dan tradisi sebagai masyarakat tradisional, kampung adat jadi simbol kehidupan. Mereka tinggal dan menghidupi diri di lingkungan sekitar. Masyarakat adat dengan sebagian tradisinya juga masih bertahan dan terjaga.
Dalam keseharian, masyarakat adat sebagai besar hidup dari berladang dan berkebun. Mereka memelihara spiritualitas terkait hubungan manusia-alam dan manusia dengan sang pencipta.
Relasi mereka dengan alam seperti hutan juga masih erat. Meski begitu tak tertutup kemungkinan desakan pengaruh luar dan derasnya arus perubahan lambat laun mengikis tradisi masyarakat adat.
Damai? Yah, Kampung adat ‘menolak’ moderenitas. Melarang pemutaran musik. Membatasi diri dibatas gerbang yang mengaris zaman. Diikat oleh aturan yang dibuat lelubur ratusan tahun lalu hingga larangan-larangan yang mungkin bagi masyarakat dibelahan bumi lainnya tidak cocok diabat 21 ini.
“Cewek, kalau tinggal dirumah sehat toh, dia rasa agak takut, dia rasa kayak ada orang yang datang mau ganggu. kalau tidur disni biar tidak ada tv itu tetap terasa nyama. tidak ada yang ganggu. firasatnya nyama. temang, damai, walaupun tdk ada kamar, hati terasa tentram,” kata Mama Imelda.
Rata-rata warga kampung adat juga punya rumah sehat-sebutan untuk rumah moderen-karena dilengkapi berbagai perabotan. Jaraknya hanya beberapa meter dari kampung adat. “Om kami bilang, dibawah sudah ada kamar, pintu, kelambu tapi mau lebih memilih disini. Nyaman. Orang tua kadang heran, kenapa anak-anak disini selalu. kalau merasa sudah tidak nyaman di rumah sehat, mau tidak mau kita harus tinggal dirumah adat.1, 2 malam baru pulang.”
Rumah adat berbeda dengan rumah sehat. Penghuninya diikat dengan aturan adat. tidak boleh begini, jangan nyalakan itu, harus ini, dan berbagai aturan lainnya yang bisa membuat orang lain tak beta.
Mereka yang tinggal akan diikat dengan aturan adat yang punya larangan dengan sangsi adat. Penanaman budaya pamali jadi kunci mengapa kampung adat mampung bertahan hingga kini.
Aturan adat begitu disakralkan. Pelanggarnya nyata mendapat hukuman. semuanya dijalankan dengan iklas. Saya sebagai tamu sendiripun dibuat merinding dengan cerita itu. Beberapa kali saya diingatkan untuk tidak menanyakan beberapa pertanyaan larangan.
“Adat punya aturan bernama basaku, tidak boleh melanggar kami punya pintu adat. bila melanggar nanti kena denda, resiko,” Moses Du’a kepala Adat Kampung, kembali mengingatkan.
Beberapa tahun lalu, beberapa aturan coba disederhanakan. Pemuda dibolehkan memutar musik dan bermain gitar. Namun, banyak warga kampung yang sakit. Leluhur mungkin terganggu.