Terbayang ketika penggembala kerbau melintasi hutan-hutan itu. Bukit-bukit tegar yang sama, sungai yang sama, lembah yang sama, tebing yang sama, benteng puncak gunung yang sama, berdiri ditempat yang sama, menikmati air dari sumber yang sama.
Dalam cakupan zaman yang berbeda. Bagaimana kehidupan manusia pada zaman itu? Cerita- cerita warga kampung adat membawa saya berfantasi. Rumah tradisional berpilar-pilar berbentuk kerucut itu kecil, tapi nyaman sekali. Sore itu para ibu sibuk mengambil air dan menjemur hasil kebun. Anak-anak bertelanjang dada mengejar anjing sambil berteriak.
Ini kampung sederhana, saya larut dalam pesona lambatnya aliran waktu. Seperti seorang perempuan tua yang bersabar menyelesaikan kain tenun adat lalu tersenyum memperlihatkan kain adat yang disulamnya.
Alam pegunungan membuat ritme hidup merayap lambat dengan keramahannya. Hari itu, semua penduduk kampung berhenti dari aktifitas memperbaiki saluran air khusus menyambut kami. Cerita-cerita Bo’marah ratusan lalu terus mereka kisahkan. “Kami sangat mencintai kampung kami,”kata Adiknya. Eten dan Adiknya adalah lulusan di perguruan tinggi. Baginya, modernisasi dan pendidikan yang tinggi sama sekali tidak membuatnya meninggalkan kampungnya yang “kuno”.
Gelar sarjana yang keduanya dapatkan digunakan untuk membangun kampung. Salah satunya membuat kerajinan tangan untuk para pelancong. Ia juga jadi salah satu pelopor guna menciptakan kampung ada yang ramah pada pendatang. “Adat punya aturan untuk tidak mengizinkan orang luar bermalam di dalam rumah adat karena itu kami membuat rumah singgah di pintu masuk kampung,” katanya.
Boamara masuk dalam kampung adat dibawa aturan adat Rndu Ola. Kala itu atas permintaan Swapraja Boawae saat itu para tetua Suku Redu membuat beberapa aturan seperti Redu Ola sebagai pusat peradaban suku Redu, seluruh ritual adat harus dimulai dari sana.
Rumat adat Strata Tertinggi
Ebu Wedho/Jawa late’ memang sangat mencolok. Atapnya paling tinggi seolah ingin berbisik pada langit. Ebu Wedho bukanlah rumah biasa. Dari 10 Rumah itu, Ebu Wedho telah sampai pada strata terakhir, tertinggi dalam tatanan adat.
“Setiap hari kita harus bunuh babi untuk ritual dan makan sampai selesai kerja rumah. Proses membangun rumah adat tidak setiap tahunnya bisa 10 tahun baru ganti. Ketika rumah rusak kita harus ganti yang baru,” kata Bapak Arkadius Ore, menceritakan pembangunannya.
Dalam istilah adat, rumah yang telah mencapai tahap akhir disebut Beki Lima Zua. Adalah Bapak Arkadius Ore, yang menghuni Ebu Wedho. Beliau adalah generasi kelima bercerita proses pembangunan rumahnya yang telah menghabiskan ratusan juta rupiah.
Ketua Adat yang telah berumur itu tersenyum lebar memperlihatkan mulutnya yang memerah.
“Butuh persiapan, butuh kesepakatan dari keluarga besar (10 Rumah),” katanya pelan. Semua bahannya berasal dari hutan dan dipilih berdasarkan petunjuk mimpi.
Untuk Tiangnya menggunakan Pohon “Nara” sebutan bahasa Lokal. Lalu rangka rumah Pohon “Lontar”. Motif Lukisan dalam Rumah Adat Filosofi Lukisan gambar manusia bentuk dari leluhur perempuan dan laki. Lukisan tersebut juga sebagai salah satu syarat dalam rumah adat. Beberapa rumah adat juga memiliki lukisan tersebut. Jika lukisan pada rumah adat level 1,2,3,4 hanya terlihat samar-samar.
Rata-rata level rumah di Boamara baru level 1, hanya rumah adat Ebu Wedho yang sudah mencapai level ke 7 untuk seluruh Rendu. Juga di Rendu Ola masih level 1,” kata Bapak Arkadius Orem.