Namun, Bone di zaman purba berada dalam wilayah kerajaan Wewangriu, zaman Lagaligo. Kata Bone, adalah nama Bugis kuno yang berarti pasir. Karena tanahnya berpasir, warnanya kekuning-kuningan, sehingga disebut tanah yang berpasir. Sebutan itu berakhir pada zaman Belanda, 1940-an.
Kota Kawerang
Ketika Kerajaan Bone berdiri, ada tujuh wanua bergabung menjadi persekutuan. Wanua Ponceng, Tanete Riattang, Tanete Riawang, Wanua Ta, Macege, Ujung dan Tibojong. Ketujuh Wanua ini, bersatu dalam panji WorongporongE. Benderanya bintang tujuh, menandakan tujuh negeri dibawah kepemimpinan Raja Bone. Raja pertama, bergelar Matasi LompoE, (Penguasa/penjaga laut dan tanah).
Tetapi awal terbentuknya kerajaan Bone, ada beberapa wanua lainnya yang tidak bergabung dan cukup disegani pada waktu itu. Seperti Wanua Biru, Cellu, dan Majang. Sedangkan Bukaka atau Ciung, kemungkinan masuk dalam wanua Tanete Riawang.
Kerajaan ini mulai membangun wilayahnya dengan ibukotanya Kawerang, berada dalam wanua Tanete Riattang di tepi sungai Bone. Sungai yang ramai digunakan oleh penduduk Bone sebagai alur transportasi penting untuk menghubungkan wanua lain. Hulunya ada dua. Anrobiring di Palakka dan Pallengoreng. Sedangkan muaranya di Toro, Teluk Bone.
Kota Kawerang sebagai pusat pemerintahan, berasal dari nama tumbuhan yang disebut Awerang. Tumbuhan ini kala itu banyak di sekitar sungai Bone (sekarang terletak di Jl Manurunge- Watampone). Tumbuhan ini sejenis ilalang dan biasa tumbuh pada tanah lembab dan berair.
Tingginya sekitar 2 meter. Berbunga jambul putih. Karena dominan tumbuh di daerah tersebut, maka penduduk menyebutnya kampung Kawerang, yang berasal dari kata Engka Awerang. Kemudian berubah sebutannya menjadi Kawerang. Sama dengan kampung – kampung lain seperti Kajuara karena engka ajuara, Kading (engka Ading), Palanga (engka lengnga).
Kota Kawerang itulah terletak Istana Raja Bone pertama, Manurunge ri Matajang. Istana menghadap sungai (letaknya sekarang sekitar jalan raya belakang Kodim 141 Toddopuli). Dalam lontara dikatakan, istana itu berdiri dengan cepat sebelum bulisanya mengering. Bulisa, sisa kulit kayu yang masih basah.
Bahkan di tempat ini pulalah tujuh matoa bermusyawarah membentuk satu ikatan dalam pemerintahan Bone. Sistem pemerintahannya disebut juga Kawerang, sesuai dengan tempat musyawarah dilaksanakan.
Pada sistem Kawerang, masing-masing matoa tetap menjadi penguasa di wilayahnya dan sekaligus menjadi dewan pemerintahan kerajaan Bone. Namun ini hanya berlangsung sampai Raja Bone ke-9, La Pattawe MatinroE ri Bettung, Bulukumba, diperkirakan tahun 1569.
Kawerang sebagai pusat Pemerintah Kerajaan Bone, awalnya hanya seluas sekitar sungai. Lambat laun berkembang ke seluruh wanua Tenete Riattang, termasuk wanua Tibojong di seberang sungai.
Seiring kemajuan kerajaan Bone, batas wilayah wanua Tanete Riattang kira-kira sekarang adalah batas kantor Korem 141 Toddopuli membelok ke jalan Thamrin sampai sungai dan jalan manurungE.
Pada pemerintahan Raja Bone pertama, lebih memfokuskan pada pembuatan aturan – aturan kemasyarakatan dan penegakan hokum. Juga menjalin hubungan dengan kerajaan –karajaan tetangga yang besar dan lebih tua, seperti kerajaan Awangpone, Pattiro, Palakka dan Cina. Pemerintahan menjalankan politik assiajingeng (hubungan keluarga) untuk meredam kembalinya zaman sianre bale.
Laumasa
Permaisuri Raja Bone I, Manurunge Ri Toro, mempunyai 4 anak, Laumasa, I Pattanra Wanua, We Tenri Salogo dan We Aratiga. Kemudian, anaknya yang bernama La Umasa , menggantikan ayahnya sebagai Raja ke-2.
Pada zaman Raja Laumasa, Raja Bone ke-2 berkuasa (1365 – 1398), kota Kawerang berkembang. Baik jumlah penduduknya, maupun pemukimannya. Sehingga kota meluas ke seluruh wilayah Tanete Riattang dan arah perkembangan kota, mulai bergeser ke wanua Macege.
Wanua ini sebagai kampung industri pembuatan alat-alat pertanian dan senjata, utamanya Parang Cege (bangkung cege), parang yang bentuknya lebar. Macege, berarti tempat pembuatan parang . Bahan baku besi didatangkan dari Kelling, dekat Lampoko.
Raja Bone ke-2 Laumasa, kebetulan hobby dan ahli dalam pembuatan alat senjata dari besi, mendirikan istana di wilayah macege, sehingga ramai penduduk bermukim, utamanya dekat kediaman baginda di Lassonrong, di sekitar sumur.
Lassonrong berasal dari nama istana raja Laumasa, mempunyai beranda di belakang istana, dikelilingi gundukan tanah liat, di atasnya pagar bambu yang runcing sebagai benteng. Inilah yang disebut Sonrong.
Lassonrong berarti, istana yang mempunyai beranda belakang dan pagar benteng. Di beranda belakang, tempat mallanro atau menempa besi milik baginda.
Pada masa pemerintahan baginda , banyak melakukan pengembangan wilayah baik dengan peperangan maupun dengan cara perkawinan. Baginda menaklukkan wanua Biru di selatan, wanua Cellu di timur, dan wanua Anrobiring, dekat Macege, juga wanua Majang.
Tahun 1338, Raja Laumasa mangkat, dan dimakamkan di JeppeE, kampung yang ditumbuhi pohon Jeppe. Pohonnya besar dan tingginya menjulang. Wilayah itu sekarang di sekitar Jl Ahmad Yani Watampone.
Semasa hidupnya, Laumasa bergelar petta Penre BessiE. Juga bergelar Petta To Mulaiye Panreng (yang pertama dimakamkan), gelar anumerta. Baginda Lau masa juga yang pertama bergelar Mangkau. Mengambil tradisi leluhurnya ketika Bone purba sebagai kerajaan Wewangriu bergelar Mangkau.
La Saliyu
Laumasa mempunyai anak 2 orang. Namanya To Suwalle dan To Salawakkang. Namun, keduanya tidak dinobatkan menjadi raja, menggantikan ayahnya. Laumasa justru mengangkat kemenakannya, anak Raja Palakka yang bernama La Saliyu Karempaluwa. Dengan pengangkatan La Salyu sebagai Raja, dialah raja termuda dalam sejarah kerajaan Bone.
La Saliyu Karempaluwa sebagai Raja Bone ke-3 tahun, 1398 – 1470. Dikisahkan, dia pernah mengalami penculikan. Ketika masih bayi, baru berusia beberapa hari, La Saliyu diculik atas perintah Raja Bone, Laumasa yang sudah dia gadang-gadang akan menggantikannya, karena anaknya tidak memenuhi syarat menjadi Raja.
Hasil musyawarah Matoa Pintu, yang pantas menjadi Raja adalah, memang anak Raja Palakka, La Pattikkeng. Sebab ibunya berdarah ‘’biru’’, saudara Laumasa, anak dari ManurungE Anak Pattola.
Hanya antara Raja Palakka La Pattikkeng dengan Raja Bone masih dalam pertikaian. Itulah sebabnya terjadi penculikan, La Saliyu. Uniknya, sebab yang melakukan penculikan, anak Laumasa sendiri, To Suwalle dan To Salawakkang.
Kisahnya, di perjalanan pulang dari Palakka, setelah dua anak Laumasa menculik sepupunya, bayi La Saliyu oleh sepupunya, sempat mampir beristirahat di suatu telaga untuk memercikkan air dan membasuh wajah bayi La Saliyu. Merasa ada percikan air, sang bayi bergerak bangun (cokkong), maka disebutlah sumur itu Lacokkong.
Sumur Laccokkong kemudian menjadi tradisi turun temurun , setiap anak raja yang dilahirkan wajib dimandikan dengan air sumur Laccokkong.
Selain itu, disebut Laccokkong, dahulu saat Laumasa berkuasa, daerah sekitar Laccokkong subur pertaniannya. Kata Laccokkong sendiri, bermakna, siapapun yang bermukim di wilayah itu, hidupnya akan makmur, cokkong.
Di masa pemerintahan La Saliyu, kota Kawerang melebar ke Tanete Riawang. Disitu dibangun pasar, hadiah dari ayah La Saliyu, Raja Palakka. Pasar tersebut menjadi pusat pertokoan di tanah BangkalaE, sebagai pusat kota Watampone. Istana Raja Bone ke-3 itu berdampingan dengan pasar tersebut, di depannya dibuat alun-alun yang disebut tanah BangkalaE.
Dahulu, tanah BangkalaE berfungsi sebagai tempat berkumpul masyarakat, mendengarkan informasi dari Raja atau pejabat Istana. Kemudian akhirnya menjadi tempat pelantikan Raja- Raja Bone yang dimulai dari Raja Bone ke-4, We Banrigau. Tanah BangkalaE dijadikan pula pusat Bone, possi tanah Bone.
Kota Kawerang semakin meluas, mulai wanua Tanete Riattang, Macege, utamanya Lassorong, Tibojong dan wanua Tanete Riawang. Penduduk keseluruhannya disebut To Kawerang, orang kota. Adapun batas wanua Tanete Riawang termasuk taman bunga sampai batas Bukaka, dan batas Laccokkong sekarang.
Saat Masih Kecil Berkuasa
Sedikit merunut kebelakang, kisah masa kanak-kanan La Saliyu yang sudah diangkat jadi Raja Bone ke tiga, kedua sepupunya tetap mengawal pemerintahannya, dengan tugasnya masing-masing.
To Suwalle bertugas mewakili Raja Bone untuk urusan pemerintahan kedalam sebagai Tomarilaleng I Kerajaan Bone. To Salawakka bertugas mengatur urusan pemerintahan keluar dan ini yang disebut MakkerdangE Tanah I dari Kerajaan Bone. Dalam pelaksanaan sehari-hari, keduanya dibantu oleh para Matoa dari tujuh wanua.
Setelah menanjak dewasa, Raja La Saliyu tampil mengendalikan pemerintahan. Namun tetap dibantu kedua kakak sepupunya To Suwalle dan To Salawakka. Pada saat berangkat berperang atau kunjungan daerah (kerajaan palili), selalu membawa bendera dan panji WorongporongE dan CellaE.
Juga baginda membagi Bone dalam tiga wilayah sesuai dengan pembagian bendera. Bendera WorongporongE membawahi negeri Matajang. Mataangin (Maroanging). Bukaka, Bukaka tengah (kampong tengngaE). Kawerang, Pallengoreng dan Mallayirang (Malari) dikordinasi oleh Matoa Matajang.
CellaE ri Abeyo, yang memakai umbul-umbul merah di sebelah kanan dari bendera WorongporongE, dipergunakan oleh rakyat dari : Paccing, Tanete (dekat Pallengoreng) Lemo-Lemo (desa Carebbu), Masalle (dekat Melle), Macege, dan Belawa (dekat Maccope). Dipimpin oleh To Suwalle digelar Kajao Ciung.
CellaE ri Abeyo, Negeri yang memakai umbul-umbul merah di sebelah kiri dari WorongporongE. Araseng, Ujung, Ponceng, Ta, Katumpi, Padacengnga (desa padaidi, dekat passippo) dan Madello (dekat desa Mico).
Dipimpin oleh To Salawakka, digelar Kajao Araseng. Dalam lontara disebutkan, Raja ini menaklukkan negeri Pallengoreng (sebelah selatan Biru), Sinri (dekat Majang), Sancoreng (Ponre), Cerowali, Apala, Bakke Tanete (cina), Attang Salo (dekat Katumpi), Soga, Lampoko, Lemoape, Bulu (dekat Cerowali), Parippung dan Lompu, Limampanua Ri Lauale.
Pada masa itu, Palakka disatukan dengan Kawerang. Juga beberapa wanua datang bergabung secara sukarela. Sehingga kerajaan-kerajaan tua seperti Cina, Pattiro, Awangpone, Barebbo, dan Palakka sudah bergabung dengan Bone.
Baginda membuat perkampungan di sebelah utara Kawerang, deka sungai Panyula dan Limpenno (muara sungai dekat Toro), sebagai tempat pelabuhan bagi perahu-perahu kerajaan ditambatkan bersama tempat tinggal pendayung dan petugas perahu Raja.
Dari kota KAWERANG menjadi kota LALEBBATA
Raja Bone ke-6, La Uliyo BoteE (1535 – 1560), pendiri benteng kota sekaligus peletak sistem perkotaan yang tangguh sebagai kota yang mandiri, dan modern pada zamannya. Baginda L Uliyo dikenal pandai , cermat dalam perencanaan. Pada masa berkuasa, baginda didampingi seorang penasehat terkenal Kajaolaliddong, yang dijuluki Lamellong.
Kajaolaliddong lah yang dipercayakan mengarsiteki sekaligus pimpinan proyek (pimpro) dalam pembangunan kolosal membangun benteng kota. Sehingga ada ungkapan ceritra rakyat Bone, ‘’cicengmi narenreng tekkenna Kajaolaliddong natepuE bentengE LALEBATA KOTA BENTENG.
Benteng atau dalam bahasa bugis Lalebata itu dibuat dari tanah liat , diambil dari bukit Bukaka. Benteng ini rata-rata tingginya 5 meter. Tebal dinding atasnya sekitar 2 meter dan tebal dinding bawahnya (pondasi) 15 meter.
Sepanjang dinding luar benteng, ditanami pohon bumbu dan berbagai jenis pohon, berfungsi untuk menahan dan mengikat tanah benteng. Bahan pembuatannya diambil dari sebagian tanah Bukaka. Tapi dinding benteng bagian utara dan timur disamping tanah liat, juga diambil dari tanah di sekitar atau di dalam wilayah benteng untuk dijadikan persawahan.
Tehnik pada pembangunan benteng tidak memakai alat perekat. Sederhana susun timbun yang mengikuti kontur tanah. Bukan terbuat dari batu merah, tapi dinding dari batu gunung yang sudah dipahat. Walau ada sebagian benteng memakai batu, utamanya di bagian pintu utama keluar.
Bentuk benteng Bone, awalnya segi empat panjang . Kemudian Raja berikutnya melakukan penambahan tinggi benteng dan dipertebal dindingnya oleh Raja Bone, Latenrirawe. Dari sinilah kota Kawerang berubah menjadi Lalebbata. Sesuai bentuk kota yang baru dengan adanya benteng dan meluas hampir ke semua wilayah wanua pitu masuk dalam area benteng.
Pada tahun 1630, saat Raja Lamaddaremmeng berkuasa, benteng mengalami pelebaran. Di sebelah timur dan utara, dengan bastion-bastion dekat SalekoE. Bentuk sudut benteng melingkar sebagai bastion dan dipasang meriam-meriam besar. Apalagi suasana politik ketika itu memanas dengan kebijakan baginda, penghapusan perbudakan.
Model benteng berubah dari segi empat panjang menjadi trapezium. Selain ada pintu utama benteng (Seppa Benteng) juga di setiap sisi benteng ada pintu-pintu untuk akses masuk bagi penduduk. Benteng ini dibuat sebagai alat pertahanan, juga sebagai pusat pemerintahan. Oleh karena sumber kekuasaan berada di istana, maka peletakan benteng juga berperan untuk pertahanan pusat-pusat hunian dan sumber daya yang ada di sekitarnya.
Jejak Benteng
Jika menyelusuri Benteng, dimulai dari sudut sebelah selatan kota, Benteng berdiri di atas jalan Kalimantan sekarang terus ke timur melewati pinggir jalan Kawerang melalui persawahan dekat sungai Bone. Di tempat itu, berdiri bastion.
Lalu ke timur lagi dekat jalan Pramuka disebut Diattang Benteng. Kemudian membelok ke utara dan disudut benteng itu terdapat Bubung LoppoE (sumur besar) digunakan untuk persediaan air bagi prajurit Bone.
Ke utara Benteng melalui persawahan dekat mesjid jalan Bajoe, disebut Seppa BentengE, membelok ke arah barat di atas jalan, pada sudut benteng membulat sebagai bastion. Tetapi ada pula pelebaran benteng dekat Salekoe juga berdiri bastion-bastion.
Di atas jalan menuju Bukaka, membelok ke utara kira-kira 200 meter ke arah barat menuju Bukaka dekat Bubung Legarowang. Kompleks kuburan KalokkoE masuk dalam Benteng.
Disebut awang Benteng dari Bukaka menuju ke selatan, antara jalan Makmur dengan Jalan Benteng, bekas benteng yang bertemu di Jl Kalimantan dekat kantor Dinas Kesehatan. Benteng-benteng ini hancur akibat peperangan, utamanya dalam perang Bone dengan Belanda.
Pada tahun 1920-an, benteng-benteng ini umumnya diambil tanahnya dijadikan jalan raya. Sepertiga bagian selatan kota Watampone, benteng itu dijadikan jalan Kalimantan sekarang dan begitupula Lapangan Persibo ditimbun dari tanah benteng yang dahulu adalah persawahan.
Watampone
Ibukota Lalebbata, kerajaan Bone berakhir tahun 1905. Ketika tentara Belanda menaklukkan Bone dengan hasil musyawarah pada 24 Agustus 1905, kota Lalebbata berubah menjadi Watampone. Ini hasil musyawarah Ade Pitu bersama Hindia Belanda di Bola SubbiE Istana Raja La Pawawoi Sigeri, istana kebanggaan kerajaan Bone yang berukir dan besar menghadap Taman Raja atau sekarang Taman Bunga.
Kemudian istana ini dipindahkan ke Makassar dan berdiri di depan Karebosi sebagai tanda penaklukkan Bone. Namun kembalikan lagi ke Bone pada tahun 1922 atas permintaan rakyat Bone. Tetapi sayangnya istana Bola SubbiE tidak utuh lagi.
Watampone yang berarti pusatnya Bone. Zaman pemerintahan Hindia Belanda, penataan kota di bangun. Area kota ditata, mulai wilayah ekonomi, Agama dan Pendidikan, pemerintahan dan kalangan bangsawan. Jalan-jalan dibuat, pohon asam dan kenari ditanam di pinggir jalan. Taman ditata seperti Koning Plein atau taman Raja yang sekarang jadi Taman Bunga.
Bangunan-bangunan berciri colonial didirikan. Istana Raja Bone dibangun untuk menggantkan Istana Bola SubbiE menjadi Kantor Dewan Ade Pitu (sekarang Perpustakaan umum Daerah , Jl Merdeka). Itu dipersiapkan Raja Bone La Mappanyukkipada tahun 1930 (museum Lapawawoi sekarang).
Bola Soba kemudian dipindahkan di Jalaan Veteran sebagai Markas Marsose dan didirikan Rumah pejabat Hindia Belanda dengan sebutan tuan Patoro Bottoa (Controler Residen), dan tangsi-tangsi militer, juga rumah sakit.
Di tahun 2019 nanti, Bone telah berusia 689 tahun tetapi jauh dari usia itu, tanah Bone telah ada dengan penduduknya. Sudah tiga kali penggantian nama ibukota sejak tahun 1330 sampai sekarang.
Tetapi penduduknya masih tetap dan senang menyebut ibukotanya dengan sebutan Bone. Itu karena kota Watampone telah menyimpan sejarah panjang dengan penduduknya tetapi tidak memperlihatkan suatu kota sarat sejarah masa lalu, apalagi sebagai ibukota kerajaan Bugis terbesar.