Fort Rotterdam. Dari ketinggian, bangunan kuno di pesisir Kota Makassar ini tampak seperti makhluk yang keluar dari legenda. Seekor penyu raksasa—bukan dari daging dan tempurung, melainkan batu hitam dan sejarah panjang.
Penyu itu seolah merangkak perlahan menuju laut, seakan bersiap mengarungi samudra lepas atau menjaga diri dari ancaman yang datang dari arah Selat Makassar. Di sinilah berdiri Benteng Rotterdam, dahulu dikenal sebagai Benteng Jumpandang, salah satu peninggalan monumental dari masa keemasan Kerajaan Gowa–Tallo.
Benteng ini tidak dibangun sembarangan. Filosofi penyu dipilih sebagai lambang kekuatan dan ketahanan; sebuah makhluk yang mampu hidup di dua dunia—darat dan laut—seperti halnya Kerajaan Gowa–Tallo yang berjaya di kedua ranah tersebut.
Benteng Jumpandang mulai dibangun sekitar tahun 1545, menggunakan bahan dasar yang sangat sederhana: batu dan tanah liat. Namun, seiring perjalanan waktu dan tuntutan zaman, struktur pertahanannya diperkuat dengan batu padas hitam yang diambil dari pegunungan karst sekitar Makassar.
Masyarakat lokal menyebutnya Benteng Panyua—benteng penyu. Bentuknya khas, menyerupai tubuh seekor penyu dengan lima bastion atau menara penjaga di tiap sudutnya.

Ini bukan satu-satunya benteng yang dibangun oleh Gowa–Tallo; kerajaan besar ini memiliki setidaknya 17 benteng sebagai jaringan pertahanan dan simbol supremasi mereka sebagai kekuatan militer maritim terbesar di Nusantara timur pada abad ke-16 hingga awal abad ke-17.
Namun, kejayaan itu tak bertahan tanpa ujian.
Memasuki pertengahan abad ke-17, datanglah tantangan besar dari barat: Belanda dengan perusahaan dagangnya yang agresif, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Berbeda dengan Makassar yang membuka pelabuhannya bagi semua bangsa—Portugis, Inggris, Arab, Tionghoa, India—VOC ingin menutup semua pintu dan memonopoli perdagangan rempah-rempah.
Perang pun tak terelakkan. VOC melancarkan serangkaian serangan ke Makassar. Namun dengan dukungan rakyat dan sistem pertahanan kuat seperti Benteng Jumpandang, Kesultanan Makassar bertahan dengan gigih. Hingga akhirnya pada tahun 1667, kedua pihak menandatangani Perjanjian Bungaya. Salah satu isi perjanjian itu: Makassar harus menyerahkan Benteng Jumpandang kepada VOC.
Benteng itu kemudian jatuh ke tangan Gubernur Jenderal Cornelis Speelman. Ia memugar dan membangun ulang struktur benteng dalam gaya arsitektur khas Belanda, serta menamainya ulang sebagai Fort Rotterdam—mengambil nama kota kelahirannya di Negeri Kincir Angin. Nama itu bertahan hingga kini, menjadi simbol pergantian zaman dan kuasa.
Sejak saat itu, Fort Rotterdam berubah menjadi pusat kekuasaan VOC di wilayah timur Hindia Belanda. Kompleksnya yang luas, sekitar 2,5 hektare dengan 16 bangunan utama, menjadi markas administrasi dan militer yang penting. Lima bastion utama—Bone, Bacan, Buton, Mandarsyah, dan Amboina—menjaga benteng ini dari berbagai penjuru arah.
Tak hanya sebagai benteng militer, Fort Rotterdam juga berfungsi sebagai penjara. Salah satu penghuninya yang paling terkenal adalah Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa, yang diasingkan dan ditahan di sini setelah ditangkap Belanda dengan tipu daya pada tahun 1830.
Pada tahun 1938, satu babak baru dimulai. Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Celebes Museum di dalam kompleks Fort Rotterdam. Museum ini mengumpulkan berbagai artefak dari seluruh penjuru Sulawesi Selatan: koin kuno, naskah-naskah lontara, gerabah, keramik, dan benda-benda peninggalan kerajaan lokal.
Setelah Indonesia merdeka, museum ini diresmikan kembali pada tahun 1970 dengan nama Museum La Galigo, mengambil nama tokoh dalam epik Bugis kuno. Sejak saat itu, museum ini terus berkembang menjadi salah satu pusat pelestarian budaya dan sejarah Sulawesi Selatan.
Koleksinya tak hanya mencakup benda-benda masa lalu, tapi juga menampilkan warisan kearifan lokal, budaya tradisional, dan perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Bugis, Makassar, dan Toraja.
Kini, Fort Rotterdam bukan lagi benteng yang bersiap menghadang musuh. Ia menjelma menjadi ruang belajar, ruang kenangan, dan destinasi wisata sejarah favorit di Kota Makassar. Letaknya yang strategis—dekat dari pusat kota—membuatnya mudah diakses, baik oleh wisatawan lokal maupun mancanegara.
Meski zaman telah berganti, meski fungsi dan pemiliknya silih berganti, sang penyu batu ini tetap bertahan. Ia bukan sekadar tumpukan batu tua. Ia adalah saksi bisu dari pertempuran, perjanjian, pengasingan, penjajahan, hingga kemerdekaan. Di balik temboknya, ada ribuan kisah yang menunggu untuk didengar, ditelusuri, dan dihidupkan kembali.