Kue apam atau apem adalah salah satu kue tradisional yang masih mudah ditemukan hingga saat ini. Kue yang terbuat dari adonan tepung beras, gula, ragi ini memiliki rasa yang manis, sekilas menyerupai serabi.
Kue apem umumnya diolah dengan gula merah yang sudah dilelehkan. Namun seiring perkembangan zaman kue apem lebih banyak variannya.
Kudapan manis legendaris dan sangat populer di beberapa daerah di Indonesia ini tidak hanya terasa lezat, tetapi juga menyimpan nilai historis yang menarik. Maka dari itu, tidak heran jika kue apem memiliki makna filosofis yang dalam.
Penamaan kue apem di Nusantara konon dipengaruhi oleh dua kebudayaan besar yakni India dan Arab.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa kue apem yang diklaim sebagai kue tradisional Indonesia itu sebenarnya berasal dari India. Di India sendiri, kue ini disebut “Appam”, hampir mirip penyebutannya di Indonesia.
Appam bermula dari India Selatan, yakni dari daerah Kerala dan Tamil Nadu. Penganan ini telah dikenal sejak abad pertama Masehi di daerah Tamil, sebagaimana ditulis dalam literatur Tamil Sangam.
Appam adalah makanan yang umum di Kerala, Tamil Nadu dan Sri Lanka, yang dianggap sebagai makanan pokok dan sinonim budaya dengan nasranis dari Kerala.
Seorang sejarawan pangan dan ahli gizi dari India K.T. Achaya dalam The Story of Our Food juga menyebutkan bahwa appam berasal dari negara India, tetapi dikembangkan di Indonesia. Menurut Achaya, kata appam ada disebutkan dalam Perumpanuru, sajak kuno Tamil yang dibuat pada abad ke-2 Masehi, yang menjelaskan asal usul bangsa Tamil.
Ada kemungkinan appam baru memasuki Nusantara sekitar Masa Perkembangan Islam, yakni seiring penyebaran (difusi) budaya Islam ke Nusantara yang dibawa oleh para migran India-Muslim. Boleh jadi, appam masuk ke Nusantara dibawa pedagang India-Muslim asal Gujarat atau khususnya asal India Selatan.
Sementara itu, ada juga sumber lainnya yang menyebutkan bahwa kata apem berasal dari bahasa Arab yakni afwan atau afuwwun yang berarti maaf atau pengampunan.
Dalam konteks ini, apem dipandang sebagai simbol permohonan ampun atas berbagai kesalahan. Orang Jawa menyederhanakan kata Arab ini dengan apem. Tujuan penggunaannya adalah agar masyarakat terdorong untuk selalu memohon ampun kepada Sang Pencipta.
Jika dilihat dari istilah, ternyata di Arab tidak ada penganan yang disebut dengan nama serupa dengan dengan sebutan apem. Kalaupun ada penganan sejenis apem, namun sebutannya adalah khamir, yakni kue khas keluarga Arab yang enak disantap untuk sarapan atau camilan sore hari.
Khamir berbentuk bundar, pipih, berwarna coklat, dan hampir menyerupai kue apem atau serabi tapi lebih besar dan bantet. Namun cara pembuatannya berbeda dari kue apem di Indonesia.
Selain itu, khamir tidak disajikan sebagai makanan khusus pada ritus jelang puasa Ramadhan. Oleh kerana itu, penghubungannya dengan penamaan apem dalam tradisi makanan Indonesia hanyalah ‘otak-atik-gatuk (tak-tik-tuk)’ pada segi istilah.
Tersebarnya kue apem di masyarakat Jawa juga tidak terlepas dari peranan para Walisongo ketika melakukan penyebaran Agama Islam di pulau Jawa. Diceritakan bahwa salah satu dari sembilan wali yaitu Sunan Kalijaga sepulangnya dari ibadah haji, beliau melihat Desa Jati Anom, Klaten banyak orang kelaparan (dikutip dari radioedukasi.kemdikbud.go.id, 18/4/2020). Kemudian Sunan memerintahkan untuk membuat apem dan mengajak mereka mengucap zikir bersama.
Saat menyantap kue apem, masyarakat Jati Anom diminta melafalkan Qawiyyu yang berarti Allah Maha Kuat. Setelah mengkonsumsi kue apem dan melafalkan kata tersebut para penduduk pun merasa kenyang.
Sebab itu, dalam pandangan atau filosofis Jawa, kue apem dilambangkan sebagai simbol permohonan ampun atau maaf atas berbagai kesalahan yang telah diperbuat, baik kesalahan kepada Sang Pencipta maupun kesalahan kepada sesama agar silaturahmi tetap terjaga.
Hal tersebut merujuk pada asal mula kata apem yakni afwan yang artinya maaf. Ya, itulah asal usul kue apem yang legendari itu.