Asal Usul Kain Tenun Kofo di Sangihe, Warisan Tradisional yang Sarat Filosofi

Di masa kejayaannya, kain Kofo tidak hanya menjadi simbol budaya tetapi juga penopang ekonomi masyarakat Sangihe. Produksi dan perdagangan kain ini menciptakan mata pencaharian bagi banyak keluarga.

Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

Kain tenun tradisional Kofo dari Sangihe, Sulawesi Utara, merupakan salah satu warisan budaya Nusantara yang sarat nilai historis, estetis, dan filosofis. Ditenun menggunakan serat pisang jenis abaka, kain ini mencerminkan keindahan dan kearifan lokal masyarakat Sangihe.

Di masa lalu, kain Kofo menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat, tidak hanya sebagai pakaian adat tetapi juga sebagai komoditas perdagangan. Namun, sejak 1970-an, tradisi menenun Kofo nyaris menghilang. Revitalisasi kain Kofo kini menjadi upaya strategis untuk melestarikan warisan budaya ini agar tetap hidup dan relevan.

Kain Koffo dari Sangihe en Talaud di Sulawesi Utara 1925
Kain Koffo dari Sangihe en Talaud di Sulawesi Utara 1925

Sejarah Kain Kofo

Kain Kofo memiliki akar sejarah yang panjang. Pada abad ke-20, di bawah kepemimpinan Raja Tabukan W.A.K. Sarapil, kain ini pernah berjaya. Produksinya meluas hingga menjadi salah satu barang dagangan yang diperjualbelikan ke berbagai daerah di Jawa seperti Pekalongan dan Yogyakarta, pusat pembuatan batik.

- Advertisement -
Kofomatten mungkin dari Sangihe 1900. Sumber: KITLV
Kofomatten mungkin dari Sangihe 1900. Sumber: KITLV

Namun, pada era 1970-an, aktivitas menenun kain Kofo mulai menghilang akibat modernisasi dan pergeseran kebutuhan ekonomi masyarakat. Tradisi menenun Kofo pun hampir sepenuhnya punah, menyisakan hanya beberapa alat tenun kuno dan kain yang disimpan oleh kolektor dan museum.

Teknik dan Proses Pembuatan Kain Kofo

Tenun wanita di Sangihe1925
Tenun wanita di Sangihe1925

Proses pembuatan kain Kofo dikenal dengan istilah mengahiuang, menggunakan alat tenun tradisional bernama kahiuang. Kain ini dibuat dari serat pisang abaka yang diolah menjadi benang.

Teknik pewarnaan tradisional menggunakan bahan alami, seperti tumbuhan yang menghasilkan warna-warna khas. Proses penenunan membutuhkan ketelitian dan kesabaran tinggi, mencerminkan nilai kerja keras masyarakat Sangihe.

- Advertisement -
Wanita menyiapkan serat kopi di Sangihe. 1910
Wanita menyiapkan serat kopi di Sangihe. 1910

Motif-motif kain Kofo umumnya terinspirasi oleh alam dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Setiap motif memiliki makna filosofis yang mendalam. Misalnya, pola geometris yang sering digunakan mencerminkan keseimbangan dan harmoni, sementara warna-warna alami mencerminkan kedekatan masyarakat dengan alam.

Baca Juga :  Tarian Likurai, Tradisi Sambutan Pahlawan yang Tetap Hidup di NTT

Makna Filosofis dan Sosial

Kain Kofo tidak hanya memiliki nilai estetika, tetapi juga nilai filosofis dan sosial yang mendalam. Dalam kehidupan masyarakat Sangihe, kain Kofo digunakan dalam berbagai acara adat seperti pernikahan, upacara kematian, dan ritual keagamaan.

Penggunaan kain ini menandai identitas sosial dan spiritual seseorang. Misalnya, warna tertentu pada kain sering digunakan untuk menunjukkan status sosial atau peran seseorang dalam komunitas.

- Advertisement -
Pria dan wanita di Sangihe 1900.
Pria dan wanita di Sangihe 1900.

Makna filosofi kain Kofo juga terlihat dalam proses pembuatannya. Penggunaan serat pisang abaka melambangkan harmoni dengan alam, sementara proses tenunnya mengajarkan pentingnya ketekunan dan kerja sama dalam komunitas. Kain ini menjadi simbol keberlanjutan dan keberagaman budaya masyarakat Sangihe.

- Advertisement -