Siang terik Jakarta selalu menuntut kesegaran, dan di antara deretan minuman tradisional Betawi, es selendang mayang hadir sebagai pelepas dahaga sekaligus penawar rindu pada cita rasa tempo dulu. Namanya terdengar puitis, seolah mengajak kita menari dalam warna-warna cantiknya.
Kata selendang diambil dari tampilan kue berwarna merah, hijau, dan putih—seperti kain selendang yang bergradasi indah. Sedangkan mayang merujuk pada tekstur kue yang manis dan kenyal saat disantap.
Es selendang mayang dibuat dari tepung kanji atau sagu aren yang dicampur dengan air, gula, dan pewarna makanan. Adonan ini dimasak hingga mengental, lalu dituang ke dalam loyang dan didinginkan hingga memadat.
Setelah itu, kue dipotong tipis-tipis menyerupai potongan kue lapis, biasanya menggunakan bilah bambu tipis yang tajam. Potongan kue selendang mayang kemudian disajikan dalam mangkuk atau gelas besar bersama sirup gula merah dan es batu serut, lalu disiram kuah santan kental yang telah dimasak dengan sedikit garam.
Rasanya pun unik, memadukan manis legit gula merah, gurih santan, dan tekstur kenyal kue selendang mayang yang dingin menyegarkan. Dahulu, es ini dijajakan oleh pedagang keliling di kampung-kampung Betawi, diangkut dengan pikulan sambil memukul mangkuk atau sendok logam untuk menarik perhatian anak-anak dan warga sekitar.
Kini, es selendang mayang memang sudah jarang dijumpai, namun eksistensinya tetap terjaga dalam berbagai festival kuliner Betawi, acara pernikahan adat, atau saat perayaan hari besar Jakarta.
Es selendang mayang bukan sekadar minuman, melainkan simbol kreativitas dan kearifan lokal masyarakat Betawi dalam mengolah bahan sederhana menjadi hidangan yang menyegarkan, cantik, dan mengundang nostalgia.