Suku Tengger, yang menetap di sekitar Pegunungan Bromo, memegang erat tradisi leluhur mereka, khususnya dalam bentuk tradisi Megalitik. Tradisi ini dianggap sebagai ekspresi dari keharmonisan hubungan antara manusia dan alam sekitar.
Dari segi administratif, Suku Tengger mendiami beberapa wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, termasuk Kabupaten Lumajang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Malang.
Dalam sistem kepercayaan mereka, Suku Tengger meyakini bahwa seluruh penduduk berasal dari cikal bakal desa, dan mereka semua bergantung pada roh-roh penguasa tanah dan air.
Meskipun ada yang mengaku beragama Islam, sebagian lainnya mungkin menganut agama Hindu atau Buddha. Keberagaman ini mencerminkan toleransi dan harmoni antara berbagai keyakinan di kalangan Suku Tengger.
Masyarakat tradisional hidup selaras dengan alam dan lingkungan tempat mereka tinggal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Fokus utama mereka tidak hanya terletak pada aspek ekonomi, melainkan juga melibatkan kegiatan profan dan sakral yang erat kaitannya dengan kehidupan spiritual.
Keberlanjutan hidup masyarakat ini, terutama yang masih memegang pola pikir tradisional, sangat dipengaruhi oleh pemenuhan kebutuhan sakral. Aspek-aspek ini, yang berkaitan dengan dimensi imanen, memberikan dukungan penting bagi individu maupun secara bersama-sama bagi kelompok masyarakat.
Masyarakat Tengger secara substansial menjunjung tinggi adat-istiadat nenek moyang, yang terus dilestarikan melalui upacara tradisional yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dalam konteks keagamaan asli Indonesia, banyak masyarakat masih mempertahankan keyakinan terhadap hal-hal yang terkait dengan roh leluhur.
Dalam berbagai tradisi yang diterapkan, ciri khasnya adalah adanya penanda dari unsur alam atau tumbuhan yang dianggap sebagai tempat tinggal roh nenek moyang. Di daerah yang kaya akan sumber batuan, keberadaan menhir menjadi umum.
Menhir, yang merupakan batu tegak, menjadi salah satu bentuk megalit yang digunakan sebagai medium dalam upacara pemujaan roh leluhur (ancestor worship). Istilah “Menhir” berasal dari bahasa Breton, di mana “men” berarti batu dan “hir” berarti berdiri, merujuk pada batu yang berdiri tegak (Soejono, et al., 1984: 247).
Meskipun Indonesia terletak di kawasan vulkanik yang masih aktif di dunia, menyediakan berbagai jenis batuan untuk tradisi megalitik, seperti bahan untuk menhir. Namun, masyarakat Tengger, yang hidup di wilayah pegunungan aktif Bromo, menghadapi kendala karena kurangnya batuan andesit berukuran besar.
Oleh karena itu, tempat pemujaan yang mereka bangun ditandai dengan penggunaan batuan monolit kecil dengan lebar sekitar 40 cm dan tinggi 60 cm. Jika batuan tidak tersedia, mereka memanfaatkan pohon-pohon besar dan menanam pohon jeruk.
Selain itu, elemen alam seperti sumber-sumber air dan lokasi topografi yang bertingkat juga dimanfaatkan sebagai punden, menciptakan tempat suci yang sesuai dengan keyakinan dan tradisi mereka.
Dalam era milenial, suku Tengger masih meyakini keberadaan roh dan arwah nenek moyang, yang dianggap sebagai danyang penunggu desa. Danyang-danyang ini dipersonifikasikan sebagai entitas spiritual yang dihormati dan diberi sesajen sebagai bentuk penghormatan.
Tempat khusus untuk menghormati danyang disebut sanggar, pedanyangan, atau punden. Pohon-pohon besar atau tempat-tempat keramat juga dapat dianggap sebagai punden (Adrianto, 2010:36).
Dalam tradisi megalitik di Indonesia, persembahan hewan kurban menjadi ciri khas. Praktik ini juga sering terlibat dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur seperti bendungan, jembatan, dan bangunan besar lainnya.
Prosesi persembahan hewan kurban umumnya dipimpin oleh seorang dukun atau tetua adat. Tujuan dari ritual ini adalah untuk mengatasi segala rintangan yang mungkin muncul selama pelaksanaan hajatan atau proyek-proyek tertentu. Tradisi ini mencerminkan hubungan erat antara kepercayaan spiritual dan kehidupan sehari-hari masyarakat Tengger di tengah era milenial.