Suku Kaili adalah salah satu suku asli di Sulawesi Tengah yang memiliki bahasa sendiri, yaitu Bahasa Kaili, yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Kaili memiliki banyak dialek, di antaranya dialek Tara, dialek Taje, dialek Ledo, dialek Daa, dialek Rai, dialek Unde, dialek Undabonga, dialek Kori, dialek Jadu, dan dialek Pendau.
Setiap dialek memiliki perbedaan dalam kosakata, pengucapan, dan struktur kalimat, namun penutur umumnya masih dapat saling memahami. Di perkotaan, penggunaan Bahasa Kaili mulai berkurang karena pengaruh Bahasa Indonesia, namun bahasa ini masih dilestarikan dalam konteks budaya seperti upacara adat, seni tradisional, dan seni rakyat.
Sebelum agama Islam masuk pada abad ke-17, masyarakat suku Kaili menganut sistem kepercayaan yang disebut Bia. Bia merupakan sistem pemujaan kepada nenek moyang dan dewa-dewa, seperti Topu-Topu, Bagi Tojadi, Buro, dan Tampilangi. Orang pertama yang menyebarkan agama Islam ke tanah Kaili adalah Syekh Abdullah Raq, seorang ulama asal Minangkabau yang telah bertahun-tahun belajar agama.
Syekh Abdullah menyebarkan Islam melalui ceramah-ceramah pada upacara-upacara adat suku Kaili. Syekh Abdullah wafat di Kampung Lere, Kota Palu, dan jasadnya dimakamkan di sana. Untuk mengenang jasa-jasa beliau, namanya diabadikan di salah satu perguruan tinggi di Palu, yaitu Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Datarama Palu.
Meskipun sebagian besar masyarakat suku Kaili menganut agama Islam, dalam beberapa tradisi, khususnya dalam Tom Buunto, masyarakat suku Kaili masih mengandalkan kekuatan gaib dari nenek moyang mereka. Suku Kaili memiliki banyak tradisi menarik, di antaranya adalah acara Birit, yang merupakan ritual untuk memohon perlindungan dari kekuatan jahat.
Setelah berkumpul, ketua adat akan mencampurkan air dengan daun-daun yang dianggap suci. Kemudian, sesajen seperti telur, burasa, dan hasil bumi lainnya akan diletakkan di sebuah pohon yang dihiasi dengan janur atau daun kelapa muda. Ritual ini bertujuan untuk menghindari bencana, penyakit, serta keburukan lainnya.
Selain itu, ada juga tradisi Nakeso, yaitu ritual menggosok gigi bagian atas dan bawah hingga rata dengan cincin emas, yang mengandung nilai kesucian. Proses ini bertujuan untuk menjaga diri dan pandangan, terutama pada anak perempuan yang sedang melepas masa remaja.
Masyarakat Kaili juga memiliki kepekaan sosial yang tinggi dan menerapkan gotong-royong dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk gotong-royong tersebut dapat dilihat dalam kegiatan seperti memindahkan rumah panggung dari satu tempat ke tempat lainnya.
Rumah panggung ini merupakan salah satu warisan budaya yang dimiliki oleh suku Kaili. Rumah adat ini disebut Saaja atau Banua Oge dan pertama kali didirikan oleh Raja Palu Jojokodi sekitar tahun 1892. Rumah Saaja ini awalnya dibangun sebagai tempat tinggal Raja dan keluarganya.
Rumah Saaja atau Banua Oge merupakan simbol penting bagi suku Kaili. Tidak sembarang orang dapat menempati rumah ini, karena rumah ini juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan musyawarah adat.
Rumah ini terpengaruh oleh arsitektur Bugis, dengan atap berbentuk piramida segitiga yang dihiasi dengan ukiran paniri dan mahkota bangko-bangko khas suku Kaili. Lantai rumah terbuat dari papan kayu yang dilapisi tikar. Rumah ini memiliki dua tangga di bagian depan yang berfungsi sebagai penghubung antara selasar rumah dan tanah. Uniknya, jumlah anak tangga selalu ganjil, biasanya tiga buah.
Bagian dalam rumah terdiri dari beberapa ruang, seperti lonavana yang digunakan untuk ruang keluarga dan musyawarah adat, serta kamar tidur bagi raja. Lontar Arana adalah ruang makan dan kamar tidur untuk putri, sementara dapur dan kamar mandi terpisah di bagian belakang rumah.
Selain rumah adat, budaya Kaili juga tercermin dalam seni musik, tarian, dan pakaian adat mereka. Beberapa tarian tradisional suku Kaili antara lain Tari Pontanu, yang terinspirasi dari aktivitas menenun yang biasa dilakukan oleh kaum perempuan, Tari Rego Funja, yang sering dipentaskan di Kabupaten Sigi sebagai bentuk penghormatan pada hasil panen, Tari Mokambu, yang merupakan tarian kolosal yang ditampilkan untuk menyambut tamu dalam perayaan atau pesta adat, serta Tari Balia, yang berfungsi sebagai ritual penyembuh penyakit.
Pakaian adat suku Kaili terdiri dari baju Ko untuk pria, yang berupa kemeja lengan panjang dengan kerah tegak dan pas di badan, biasanya dipadukan dengan celana panjang. Baju Ko sering digunakan dalam acara adat, dilengkapi dengan aksesoris seperti sarung, keris, dan siga (destar).
Ritual penyambutan tamu juga mencerminkan budaya Kaili, di mana tamu disambut dengan tarian perang. Ritual ini diawali dengan tabuhan gimba, gendang tradisional suku Kaili, yang mengiringi tamu menuju tempat upacara. Ini mengandung makna bahwa suku Kaili selalu siap memberikan rasa aman dan damai kepada para tamu yang datang.
Secara keseluruhan, asal usul suku Kaili menunjukkan eksistensi budaya yang kaya dan beragam, yang masih hidup hingga kini di Sulawesi Tengah.