Di tanah Belitung, di antara kebun lada dan pantai-pantai granit yang megah, tersimpan kisah sebilah senjata tradisional yang menandai peradaban warganya: Parang Badau. Namanya sederhana, demikian pula penampilannya—tanpa ukiran rumit atau hiasan emas. Namun justru dari kesederhanaan inilah Parang Badau menjadi fenomenal bagi masyarakat Belitung.
Parang Badau memiliki bentuk khas yang membedakannya dari parang lain di Nusantara. Bilahnya tidak terlalu panjang, tetapi melebar di bagian ujung. Desain ini membuat berat parang tertumpu pada ujung bilah, menciptakan tebasan yang kuat meski hanya dengan sedikit tenaga. Maka tak heran jika Parang Badau menjadi andalan saat menebas batang kayu keras atau membersihkan semak belukar di ladang.
Pada masa kerajaan, Parang Badau digunakan sebagai senjata tempur dan alat mempertahankan diri. Namun dalam keseharian masyarakat Badau, parang ini berubah fungsi menjadi perkakas serba guna. Ia menebas ranting dan membersihkan ladang, juga menemani para petani saat menapaki hutan belantara.
Senjata tradisional ini memiliki riwayat panjang sejak abad ke-13. Menurut pengamat sejarah Belitung, Ian Sanchin, Parang Badau sudah digunakan pada masa Kerajaan Badau yang kala itu dipimpin raja bergelar Ronggo Udo. Konon, keahlian menempa besi untuk membuat parang ini diajarkan oleh seorang empu pandai besi dari Kerajaan Majapahit.
Kisah ini tercatat dalam Syair Nagarakretagama karya Empu Prapanca pada tahun 1365 yang menyebut nama Belitung sebagai bagian dari Majapahit. Dari warisan penempaan besi tersebut, lahirlah banyak sentra pengrajin parang di Pulau Belitung hingga kini.
Uniknya, salah satu Parang Badau tersimpan di Belanda dengan bentuk bilah sedikit berbeda. Panjang bilahnya 42 cm, lebarnya 2,8–5 cm, gagang sepanjang 16 cm dan lebar 3 cm. Terbuat dari besi, rotan, dan kayu, parang ini menjadi saksi bisu sejarah Belitung meski tahun pembuatannya tak diketahui.
Kini, di Desa Badau, seorang pengrajin bernama Masri masih mempertahankan tradisi menempa besi yang diwarisi dari ayahnya. Bersama sang istri yang memompa angin, Masri mampu menghasilkan sepuluh parang dalam seminggu.
Setiap parang dijual seharga Rp 50 ribu kepada pelanggan setianya—para petani dan pemilik toko pertanian. Ia menggunakan besi bekas shock breaker mobil yang dibelinya seharga Rp 8 ribu per kilogram. Namun bahan baku kini semakin sulit didapat, menambah tantangan bagi pengrajin sepertinya.
Di tengah ketatnya persaingan usaha, para pengrajin Parang Badau berharap ada dukungan pemerintah. Bukan hanya pembinaan, tetapi juga bantuan permodalan agar parang khas ini terus bertahan.
Mereka bermimpi, suatu hari Parang ini tak hanya dikenal sebagai alat bertani atau senjata warisan sejarah, melainkan juga menjadi suvenir khas Belitung yang diminati para wisatawan. Dengan majunya pariwisata Belitung, parang ini mungkin akan menorehkan kisah baru—dari alat menebas belukar menjadi simbol kebanggaan budaya dan ketangguhan masyarakatnya.