Peninggalan Kesultanan Makassar, Kuasa Maritim Kerajaan Kembar

Tidak hanya lewat situs sejarah, tetapi juga dalam narasi besar tentang bagaimana kekuatan agraris dan maritim bisa bersatu, mengembangkan diplomasi, melawan kolonialisme, dan menyatukan beragam etnis dan kepercayaan dalam sebuah kerajaan besar di jantung Indonesia Timur.

Nagekeo yang Tak Banyak Orang Tahu, Temukan di Edisi Spesial Ini!

Temukan kekayaan budaya, adat istiadat, sejarah, wisata, dan kuliner khas Nagekeo melalui Majalah Digital Dimensi Indonesia. Dikemas secara menarik dengan pendekatan ilmiah yang ringan.
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

Di antara riuh ombak yang memeluk garis pantai Sulawesi Selatan dan semilir angin yang membawa aroma garam dari lautan, berdiri satu nama besar dalam catatan sejarah Nusantara: Kesultanan Makassar. Peninggalan Kesultanan Makassar.

Sebuah entitas politik yang tumbuh dari akar agraris dan maritim, menjelma menjadi kekuatan utama di bagian timur Indonesia pada abad ke-16 hingga 17. Namun sebelum kejayaan itu tercatat dalam naskah-naskah tua, ada kisah tentang dua kerajaan bersaudara yang memutuskan untuk menyatukan takdir mereka.

Dua Kerajaan, Satu Sumpah

Gowa dan Tallo—dua kerajaan yang mendiami semenanjung barat daya Pulau Sulawesi—didirikan oleh garis darah yang sama namun berkembang dengan karakter yang berbeda. Gowa, berakar di dataran tinggi, tumbuh dengan kekuatan agraris dan sistem pertanian yang kokoh. Sementara Tallo, yang berdiam di wilayah pesisir, berkembang sebagai pusat perdagangan dan pelayaran yang dinamis.

- Advertisement -

Persatuan keduanya terjadi di masa pemerintahan Raja Gowa ke-9, Tumapa’risi’ Kallona (1510–1547), yang dikenal sebagai tokoh pembaru. Sumpah “Ia iannamo tau ampasi ewai Gowa na Tallo iamo nacalla rewata”—yang berarti “siapa yang memecah Gowa dan Tallo akan celaka oleh dewata”—mengikat dua kerajaan ini menjadi satu entitas politik yang lebih kuat: Gowa–Tallo.

Dari sumpah itu pula lahirlah sistem pemerintahan unik bernama Rua Karaeng na Se’re Ata, atau “dua raja dan satu rakyat”. Sombayya ri Gowa menjadi raja tertinggi, sementara Tu’mabicara Butta dari Tallo menjabat sebagai perdana menteri. Perpaduan ini melahirkan pemerintahan yang seimbang antara kekuatan tanah dan laut.

Somba Opu: Jantung Kerajaan Gowa–Tallo

Peninggalan Kesultanan Makassar
Peninggalan Kesultanan Makassar

Keberadaan Kesultanan Makassar tidak bisa dilepaskan dari salah satu simbol kejayaannya: Benteng Somba Opu. Terletak di pesisir barat Makassar, benteng ini awalnya dibangun dari tanah liat dan putih telur sebelum diperkuat dengan batu bata dan persenjataan modern seperti meriam.

- Advertisement -
Baca Juga :  Pulau Siompu dan Kemilau Mata Birunya

Di sinilah pusat kekuasaan kerajaan berdiri—bukan sekadar benteng, tetapi juga rumah bagi para pemimpin, pedagang, pelaut, dan masyarakat dari berbagai latar belakang.

Pembangunan struktur pemerintahan juga diperbaharui. Sistem birokrasi diperluas dengan jabatan menteri dan syahbandar. Undang-undang disusun ulang, dan pelabuhan dibuka untuk para pedagang dari mancanegara. Sebuah strategi diplomasi yang menjadikan Makassar sebagai poros penting dalam jaringan perdagangan internasional.

Makassar, Pelabuhan Terbuka

Letak geografis Makassar yang strategis—di persimpangan antara Asia Timur, India, dan kepulauan rempah di timur—membuatnya menjadi pelabuhan internasional yang penting. Terutama setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada awal abad ke-16, banyak pedagang beralih ke Makassar. Di sini, kapal-kapal dari Cina, Arab, India, Melayu, hingga Eropa bersandar, membawa rempah, kain, logam, dan berbagai barang dagangan lain.

- Advertisement -

Salah satu pelabuhan penting yang masih aktif hingga hari ini adalah Pelabuhan Paotere, terletak di Kecamatan Ujung Tanah. Dulu, pelabuhan ini menjadi titik kumpul armada perang kerajaan. Kini, ia menjadi tempat bersandarnya kapal nelayan serta surga bagi pencinta seafood segar.