Secara keimanan mereka, Masyarakat adat Mbay merupakan pemeluk agama yang taat. Namun pada perihal budaya beberapa bagian dari perjalanan orang Mbay di tanah ini telah mengalami banyak perubahan ekstrim. Entah itu tradisi, peninggalan sejarah maupun bahasa mereka sendiri? Yakinkah orang Mbay akan bertahan lama?
Hari ini sekiranya banyak pesan history telah tersampaikan dengan mendalam. Para petua adat Mbay mampu memerankan diri, merefleksi sebagaimana orang tua dahulu mereka.
Keterbukaan tentang sejarah Mbay adalah kesadaran eksistensi bagi pemilik budaya yang ingin hidup lebih lama di tanahnya sendiri. Tentu hal ini telah menyelamatkan anak cucu mereka dari tekanan hipotermia peradaban.
Dalam perjalanannya, Kaijo mulai dianggap sesuatu yang berdosa dan harus ditinggalkan. Atas dasar syair-syair yang menantang ajaran Tuhan mereka. Sekalipun perseteruan terjadi begitu panjang. Namun tidak sedikitpula yang masih mempertahankannya. Hal ini yang mereka lakukan adalah tentang mempertahankan eksisitensi. Tentang darimana orang-orang Mbay itu datang.
Saat ini peninggalan tersisa yang dimiliki orang Mbay, kemungkinan hanya sepetak tanah yang digunakan untuk membangun rumah dan menggarap sawah. Sehingga Mbay tak memiliki keistimewaan lebih selain hanya komunitas kecil.
Wemarnai Kaijo yang Kehilangan Warna
Di tahun ini Kaijo telah memasuki peradaban baru. Atas peran semua generasi tanpa terkecuali. Kaijo menjadi ikon penting pada pentas Perdana Nagekeo One Be Festival di akhir tahun 2023.
Berlanjut di tahun 2024, dalam usaha pelestarikan budaya untuk memperkuat identitas masyarakat adat Suku Mbay, Dr. Gabriel Ndawa, SE., MM bersama para peneliti dari Kota Kupang telah melakukan penelitian dan pendokumentasian para tokoh Mosa Tana Laki Watu orang-orang Mbay.
Penelitian ini didukung penuh oleh Kemendikbudristek RI, Dana Indonesiana dan LPDP. Dalam sambutan Focus Group Discussion (FGD) di Nggolombay, 8 April 2024, Dr. Gabriel memberi banyak gambaran bahwa output atas penelitian ini adalah buku yang akan dicetak dalam 2 bahasa, yakni bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dalam versi cetak dan elektronik serta sebuah mini video dokumenter. Buku-buku ini akan dibagikan secara gratis ke sekolah-sekolah, taman baca dan perpustakaan di NTT.
FGD Nggolombay merupakan lanjutan dari FGD pertama yang dilakukan pada minggu lalu di kantor Desa Tonggurambang. FGD pertama adalah memperkenalkan maksud dan tujuan serta membahas hal-hal yang dibutuhkan dalam penulisan buku.
Data-data yang dikumpulkan merupakan hasil wawancara mendalam dengan beberapa narasumber penting. Setelah memperoleh banyak data dan menyusun secara baik, maka FGD di Nggolombay adalah untuk mempresentasikan draft buku kepada forum. Tujuannya ialah agar mendapatkan validasi, masukan dan koreksi dari masyarakat Mbay,” papar Dr. Gabriel Ndawa.
Dirinya berharap agar buku yang dihasilkan tersebut bisa menjadi rekam jejak sejarah yang berharga tentang masyarakat adat Mbay dan dapat menjadi bahan referensi untuk penelitian budaya di masa depan serta membantu memahami perubahan yang terjadi di masa kini.
“Kegiatan ini merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa budaya dan identitas masyarakat adat Mbay tetap hidup dan kuat. Hal ini juga diharapkan dapat membuka pintu untuk peluang, baik dalam hal pendidikan, ekonomi, lingkungan dan pelestarian budaya,” tambahnya.
Draft buku yang dipaparkan berisi enam bab terkait sejarah dan asal usul Suku Mbay, struktur masyarakat adat, aturan-aturan, dan peran para mosa tana laki watu dalam pelestarian tradisi pertanian, yakni Kaijo dan Mbela.