Langit Jakarta sore itu mungkin biasa saja, tapi di satu sudut lapangan yang sederhana, ada sesuatu yang berbeda. Gelak tawa pecah tanpa jeda. Anak-anak, remaja, orang tua hingga kakek-nenek duduk berdekatan, wajah-wajah mereka dipenuhi antusiasme. Lenong betawi.
Di tengah keramaian itu, sekelompok orang berdiri mencolok dengan pakaian adat Betawi, lengkap dengan alat musik tradisional seperti gambang kromong yang berdenting ceria. Mereka bukan sekadar tampil—mereka bercerita.
Inilah lenong, seni pertunjukan khas Betawi yang menyatukan sandiwara, musik, pantun, dan tawa dalam satu panggung rakyat. Sebuah seni yang hidup dan tumbuh bersama denyut kota Jakarta, melintas dari masa ke masa, dari kampung ke panggung modern.
Dari Balai ke Panggung: Sandiwara Betawi yang Penuh Warna
Lenong bukan sekadar teater. Ia adalah wajah Jakarta yang jenaka, lugas, dan kadang tajam. Dibalut dialek khas Betawi, lenong menghidangkan lakon yang mengundang tawa namun sarat makna. Alur ceritanya bisa ringan, bisa pula sarat nilai moral. Semua dibawakan dengan gaya yang menghibur, langsung dan penuh interaksi dengan penonton.
Dalam dunia lenong, tidak ada sekat antara panggung dan penonton. Dialog kerap dilontarkan spontan, celetukan dilemparkan ke arah penonton, dan pantun bersahutan seperti lagu lama yang tak lekang oleh waktu. Itulah kekuatannya: keterhubungan langsung dengan mereka yang menyaksikan.
Dua Wajah Lenong: Dèns dan Preman
Lihat postingan ini di Instagram
Lenong memiliki dua wajah utama: lenong denes dan lenong preman.
Lenong denes berasal dari kata denes yang dalam dialek Betawi berarti “resmi” atau “dinas”. Tak heran jika jenis lenong ini biasanya mengangkat cerita-cerita kerajaan, kaum bangsawan, atau kehidupan kaum elit, lengkap dengan bahasa yang halus dan kostum formal ala masa silam. Pementasannya lebih serius, meski tetap dibumbui humor khas Betawi.
Sebaliknya, lenong preman tampil lebih bebas. Kostumnya tak diatur ketat, bahasanya pun sehari-hari, bahkan kadang kasar, penuh celetukan jalanan yang spontan. Ceritanya? Segala hal yang dekat dengan keseharian rakyat: pasar, kampung, cinta yang gagal, sampai kritik sosial yang pedas namun lucu. Justru dalam kebebasan itulah lenong preman menemukan kekuatannya.