Walau usia desa itu telah mencapai 4 abat, namun ia tidak pernah mengalami perubahan sejak pertama kali berdiri. Yah, Ke’te Kesu bisa dibilang museum hidup–orang yang mengunjunginya dapat secara langsung melihat budaya dan tradisi masyarakat Toraja.
Di Tana Toraja, Desa Ke’te Kesu jadi salah satu desa yang sangat serius dengan kematian. Ritual pemakamannya begitu mewah, kuburan yang menggantung, dan situs pemakaman yang penuh dengan dekorasi.
Desa itu kini ditempati sekitar 20 keluarga. Beberapa di antara mereka tinggal dalam Tongkonan. Ada delapan Tongkonan di Ke’te Kesu, diatur berbaris dan berhadapan, lengkap dengan lumbung padi yang terhubung.
Dinding Tongkonannya begitu cantik, dipenuhi hiasan tanduk kerbau dan ukiran yang indah, berfungsi sebagai penanda status pemilik rumah. Menurut masyarakat asli Toraja, hanya mereka yang berdarah bangsawan yang boleh membangun Tongkonan.
Sedangkan masyarakat biasa akan tinggal di rumah yang lebih kecil dengan desain yang tidak terlalu rumit seperti Tongkonan.
Jika dilihat dari luar, Tongkonan memiliki kekhasan bentuk atap seperti perahu besar. Proses pembangunannya pun amat sulit. Untuk membangunnya seluruh anggota keluarga akan dilibatkan.
Di Ke’te Kesu, salah satu tongkonan telah diubah fungsinya menjadi museum. Ia memamerkan benda-benda unik dan bersejarah dari adat istiadat kuno. Keramik Tiongkok, patung, belati, parang, hingga bendera pertama yang pernah dikibarkan di Toraja pun terpanjang di sana.
Museum tersebut juga membuka workshop bagi pengunjung yang ingin melatih keterampilannya membuat karya seni dari bambu.
Warga Ke’te Kesu memang dikenal sebagai pengrajin yang sangat terampil. Mereka sangat telaten membuat ornamen unik pada bambu atau batu diukir dengan abstrak atau geometris.
Termasuk tatakan gelas, perhiasan, hiasan dinding, tau-tau, dan bahkan senjata tradisional. Harganya beragam, mulai dari yang murah hingga mahal. Untuk hiasan dinding yang rumit dan lukisan berukir misalnya, dapat dibanderol dengan harga jutaan rupiah.
Tidak jauh dari Tongkonan, terdapat batu menhir di tengah sawah, penanda jalan menuju bukit mistis bernama Bukit Buntu Ke’su yang merupakan situs pemakaman kuno berusia 700 tahun.
Di jalur bukit yang berbatu, berserakan tengkorak dan tulang manusia. Beberapa di antaranya bahkan menumpuk tinggi dalam bejana besar berbentuk perahu atau sampan. Pada tebing bukit, dibuat beberapa lubang berisi mayat.
Berdasarkan tradisi setempat, warga yang berdarah bangsawan akan dimakamkan di lubang tertinggi, sementara orang biasa di kaki bukit. Masyarakat Toraja percaya, semakin tinggi lokasi seseorang dikubur, maka semakin mudah jalan mereka menuju surga.
Beberapa makam adat di Kete Kesu juga telah ditutup dengan jeruji besi untuk mencegah pencurian patung jenazah adat (tau-tau). Sebab, beberapa jenazah dapat dilihat jelas dari luar bersama dengan harta yang dikuburkan di dalamnya. Ada pula peti mati yang menggantung di dinding bukit. Peti kayu tersebut diukir dengan keindahan yang luar biasa.
Dengan keunikkan dan kekhasan tradisi mereka, desa Ke’te Kesu menjadi salah satu warisan megah Toraja yang patut dikunjungi.