Cendana, Warisan Wangi dari Tanah yang Tandus Sumba

Kini, di ladang-ladang kecil dan pekarangan rumah, tunas-tunas cendana mulai tumbuh.

Nagekeo yang Tak Banyak Orang Tahu, Temukan di Edisi Spesial Ini!

Temukan kekayaan budaya, adat istiadat, sejarah, wisata, dan kuliner khas Nagekeo melalui Majalah Digital Dimensi Indonesia. Dikemas secara menarik dengan pendekatan ilmiah yang ringan.
Bagikan keindahan Indonesia yang ada disekitarmu di Dimensi Indonesia! Selengkapnya
X

Sekilas, Sumba barangkali tampak seperti tanah yang keras dan tak ramah. Sabana kering terbentang luas, pepohonan jarang, dan panas matahari terasa membakar kulit. Namun, justru di balik kesan tandus inilah tersimpan sebuah rahasia alam yang berharga—pohon cendana, salah satu pohon termahal di dunia.

Cendana atau Santalum album telah lama menjadi kekayaan Pulau Sumba. Bersama Pulau Timor, Sumba menjadi bagian dari gugusan Nusa Tenggara Timur yang dikenal sebagai pusat budidaya cendana di Indonesia.

Aromanya yang khas dan kayunya yang padat menjadikannya bahan bernilai tinggi untuk parfum, kosmetik, aromaterapi, bahkan pengobatan tradisional. Tak heran bila bangsa-bangsa asing—Portugis dan Belanda di antaranya—dulu berlomba-lomba menanamkan kekuasaan mereka di pulau ini, demi menguasai komoditas harum ini.

- Advertisement -

Sejarah mencatat, minyak dan kayu cendana dari Sumba pernah merajai pasar dunia. Pohon-pohon menjulang tinggi dahulu memenuhi hutan-hutan Sumba, menciptakan lanskap yang kini hanya bisa kita bayangkan. Namun, popularitas cendana tak selalu membawa berkah.

Eksploitasi besar-besaran selama berabad-abad membuat populasinya menyusut drastis. Antara 1987 hingga 1997 saja, jumlah pohon cendana di NTT merosot hingga 50%. Akibatnya, tanama endemik Indonesia ini masuk daftar spesies terancam punah menurut IUCN.

 

Lihat postingan ini di Instagram

 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Ditjen PHL (@ditjenphl)

- Advertisement -

Namun, harapan baru mulai tumbuh.

Hari ini, semangat masyarakat Sumba untuk menghidupkan kembali kejayaan cendana kian menyala. Pemerintah daerah mendorong budidaya, dan banyak keluarga mulai menanamnya di pekarangan rumah mereka.

Walau butuh waktu belasan hingga puluhan tahun hingga siap panen, masyarakat percaya—cendana yang mereka rawat hari ini adalah warisan untuk anak cucu, investasi yang aromanya akan membawa kesejahteraan esok hari. Harga satu pohon dewasa bahkan bisa menembus puluhan hingga ratusan juta rupiah.

- Advertisement -
Baca Juga :  Bapongka, Tradisi Menghargai Laut Suku Bajo

Pohon ini begitu erat melekat dalam identitas Sumba, hingga bangsa Eropa dulu menjuluki pulau ini sebagai Sandalwood Island. Julukan itu kini bertransformasi menjadi “Nusa Cendana”, sebutan yang masih akrab terdengar hingga sekarang. Kayu ini tak hanya jadi komoditas dagang, tapi juga simbol sejarah dan ketahanan—tentang bagaimana masyarakat Sumba pernah terjerat, lalu berjuang merebut kembali kendali atas kekayaan tanah mereka sendiri.

Kini, di ladang-ladang kecil dan pekarangan rumah, tunas-tunas cendana mulai tumbuh. Mereka mungkin masih mungil dan rapuh, tapi membawa harapan besar. Mungkin suatu hari nanti, aroma harum dari pohon ini akan kembali mewarnai peta dunia—bukan sebagai hasil rampasan, tapi sebagai bukti bahwa tanah yang tampak kering sekalipun bisa menumbuhkan sesuatu yang begitu bernilai.